Senin, 17 Agustus 2020

SINOPSIS NOVEL BADDIUZZAMAN DAN PENA ULAR

BADDIUZZAMAN DAN PENA ULAR




https://youtu.be/m_LpI305320
LINK SINOPSIS DI YOUTUBE
PENULIS: Al-Firdaus
Ukuran : 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-294-255-4
Terbit : Agustus 2020
Harga : Rp 100000
www.guepedia.com

Sinopsis:

Berawal dari mimpi Baddi bertemu dengan sosok asing yang mengaku sebagai kakek buyutnya. Di awal pertemuan sang kakek mengajak Baddi jalan-jalan mengitari sekolah Nusantara, sekolah intergaib. Diakhir pertemuan sang kakek memberikan sebuah kotak sebuah pena berbentuk ular, yang nantinya mengantarkannya masuk ke dalam Sekolah Nusantara.

Di sekolah Nusantara, Baddi bertemu dengan Rusli, Nurul si anak kepala sekolah, dan Jack si anak ketua komite sekolah yang super sombong. Begitu mereka tiba di Aula sekolah, Baddi dan semua siswa baru di seleksi oleh panitia menggunakan kendi keramat bermata, untuk ditempatkan ke dalam asrama: Citra Kencana, Bagaskara, Temben Sikamali dan Kaliandara. Dengan ditemani Nurul, Baddi memilih asrama Temben Sikamali, sementara Jack dan Rusli terlibat dalam perkelahian kecil disatukan dalam satu asrama Kalindara.

Kejadian demi kejadian yang unik dan menakjubkan senantiasa Baddi alami bersama Nurul dan Rusli, seperti masuk ke dalam portal ajaib dan menghadapi 3 lingkaran api untuk mengambil buku misterius, lalu berhadapan dengan master Giant dan Kendil yang tak lain adalah Clara sang pengawal pribadi miss Betty Gonsalves. Dan petualangan Baddi beserta teman-temannya masih akan terus berlanjut....!

Minggu, 09 Agustus 2020

AKIDAH AKHLAK KELAS X BAB I (BGN I)

 AYO MENGHINDARI SIFAT/ SIKAP TERCELA BAGIAN I





Video Pembelajaran di youtube


A. Hubb al-dunya 

1. Pengertian

Hubb al-dunya  adalah cinta dunia yang berlebihan.  Hubb al-dunya adalah sumber kehancuran umat. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat melemahkan dan menggerus keimanan seseorang. Yang dimaksud hubb al-dunya di sini adalah mencintai dunia dengan melupakan kehidupan akhirat. Maksud dunia disini adalah segala sesuatu yang kurang bermanfaat di akhirat.

2. Dalil Naqli

Hubb al-dunya merupakan akhlak tercela yang harus dihindari,sebagaimana firman Allah: 

Artinya:

”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggabanggaan tentang banyaknya harta dan anak”(QS. al-Hadid [57]:20).

3. Penyebab Hubb al-dunya

1) Menganggap dunia sebagai tujuan utama, bukan sebagai sarana mencapai kehidupan akhirat.

2) Suka mengumpulkan harta dengan menghalalkan berbagai macam cara. 

”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu2. sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. at-Takatsur [102]:1-2)

3) Kikir terhadap harta, tidak rela hartanya terlepas dari dirinya.

4) Serakah dan rakus serta tamak. Selalu ingin mengumpulkan harta walaupun sudah memiliki.

5) Tidak mau mensyukuri nikmat Allah. 

 4. Dampak Negatif

Ketika seorang muslim sudah menjadikan dunia ini  sebagai tujuan utamanya, maka itu alamat dia telah terjebak dalam hubb al-dunya. Padahal, dalam prinsip akidah mukmin, dunia ini bukanlah tujuan. Melainkan hanya alat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Maka mereka yang hubb al-dunya akan memperoleh dampak negatif sebagai berikut.

1) Cinta dunia akan membuat mereka lalai kepada Allah.

2) Mereka yang begitu mencintai dunia akan mudah tergoyah imannya.

3) Sebagai sumber penyakit, cinta dunia sering mengakibatkan seseorang cinta terhadap hartanya dan di dalam harta terdapat banyak penyakit, antara lain tamak, rakus, pamer, dengki  dan lain-lain.

4) Menghalalkan segala cara demi memperoleh kesenangan dunianya. 

5) Membuat seseorang tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat

5. Cara Menghindari 

Betapa bahayanya hubb al-dunya baik bagi diri sendiri ataupun orang lain , maka kita harus berusaha menghindarinya dengan cara :

1) Mengingat bahwa kehidupan dunia itu hanya sementara. Islam tidak memerintahkan umatnya meninggalkan dunia, tetapi diperintahkan untuk menaklukkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya.

2) Memperbanyak mengingat kematian.

3) Qana’ah yaitu merasa cukup terhadap yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas terhadap harta.

4) Mengingat bahwa apa yang kita lakukan di dunia akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. 


B. Hasad

1. Pengertian

Hasad adalah penyakit hati ketika seseorang merasa tidak senang jika orang lain menerima karunia dari Allah. Hasad secara bahasa berarti dengki atau benci. Menurut istilah hasad adalah membenci nikmat Allah Swt. yang dianugerahkan kepada orang lain, serta menginginkan agar nikmat tersebut segera hilang atau terhapus dari orang lain. 

Cinta harta dan gila jabatan dapat menimbulkan hasad Nikmat yang dikaruniakan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya tidak sama. Ada manusiayang dikaruniai nikmat berupa harta benda, ada yang dikaruniai nikmat berupa anak, kecerdasan, kecantikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi manusia yang mempunyai perilaku hasad merasa tidak senang jika orang lain menerima karunia-Nya.

2. Dalil Naqli

Allah berfirman: 

Artinya:

“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya.” (QS. ali- Imran [3]: 120) 

3. Sebab-sebab

Ada dua sebab utama yang membuat seseorang berlaku hasad, yang pertama adanya rasa permusuhan dan kebencian kepada seseorang. Yang kedua adanya sifat takabur atau sombong yakni merasa diri sendiri yang paling baik, paling benar atau paling hebat.  Dari sifat dan sikap seperti ini seseorang tidak suka terhadap keberhasilan dan kemajuan yang dicapai orang lain.

4. Dampak Negatif Hasad
Dampak negatif  perilaku hasad sebagai berikut.
1) Menghanguskan amal kebaikan  Hasad dapat membakar amal kebaikan bagaikan api membakar kayu bakar. Rasulullah Saw. bersabda: 

Artinya:

“Jauhilah olehmu sifat dengki karena sesungguhnya sifat dengki itu memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.” (HR. Ahmad) 

Semua amal baik membutuhkan perjuangan keras, sangat disayangkan bila amal baik itu hanya lenyap dalam sekejap oleh perilaku hasad. Ibarat “Panas setahun terhapus dengan hujan sehari.” Sekali berbuat hasad, amal kebaikan yang telah dikumpulkan bertahun-tahun pun lenyap tidak berbekas. 

2) Merasa senang jika orang lain tertimpa musibah
3) Memutus tali silaturahmi
4) Hilangnya ketenangan dan kebahagiaan
5) Tidak dapat menyempurnakan iman

5. Cara Menghindari Perilaku Hasad
1) Memperbanyak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.
2) Menanamkan kesadaran bahwa sifat hasad akan membawa seseorang menderita batin
3) Berfikir positif atas segala kejadian yang menimpa kita 
4) Menumbuhkan kesadaran bahwa akibat dari dengki itu adalah permusuhan dan permusuhan akan membawa petaka .
5) Memelihara sikap rendah hati, tidak sombong atau membanggakan diri, dan meyakini bahwa semua yang kita miliki adalah titipan dari Allah Swt. sehingga kita tidak perlu merasa tersaingi apabila orang lain mendapatkan suatu kenikmatan dari Allah.  
6) Saling mengingatkan dan saling menasehati
7) Bersikap realistis melihat kenyataan
8) Mempunyai pendirian dan tidak mudah terprovokasi
9) Senantiasa ingat pada Allah dan meminta perlindunngan kepada-Nya agar terhindar dari sifat hasad. 


Sumber:

Buku Akidah Akhlak Kelas X Madrasah Aliyah Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2019

AKIDAH AKHLAK KELAS X BAB I (BGN II)

 AYO MENGHINDARI SIFAT/ SIKAP TERCELA BAGIAN II


A. Ujub

1. Pengertian Ujub

Secara bahasa (etimologi), ’Ujub, berasal dari kata ’ajaba yang artinya kagum, terheran-heran, takjub. Al-I’jabu bi al-Nafs berarti kagum pada diri sendiri. Yaitu ketika kita merasa bahwa diri kita memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain.

Secara istilah dapat kita pahami bahwa ’ujub yaitu suatu sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu penghargaan yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri. Imam Ghozaly menuturkan, “Perasaan ’ujub adalah kecintaan seseorang pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan keutamaan kepada Allah.”

Memang setiap orang mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dimiliki orang lain, tetapi milik siapakah semua kelebihan itu? Allah berfirman :

Artinya:

”Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Maidah [5]: 120)

Dengan demikian hakikat ujub adalah membanggakan diri atas kenikmatan yang ia dapati dengan melupakan bahwa itu adalah pemberian dari Allah.

2. Dalil Naqli

Rasulullah Saw. bersabda :

Artinya:

“Tiga perkara yang membawa kepada kehancuran: pelit, mengikuti hawa nafsu, dan suka membanggakan diri. “(HR. ath-Thabari, hadits Hasan).

3. Sebab-sebab

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sifat ujub adalah sebagai berikut:

1) Banyak dipuji orang. Pujian seseorang secara langsung kepada orang lain, dapat menimbulkan perasaan ’ujub dan egois pada diri orang yang dipujinya.

2) Banyak meraih kesuksesan. Seseorang yang selalu sukses dalam meraih cita-cita dan usahanya akan mudah dirasuki perasaan ujub.

3) Kekuasaan. Setiap penguasa biasanya mempunyai kebebasan bertindak tanpa ada

protes dari orang di sekelilingnya, dan banyak orang yang kagum dan memujinya.

4) Mempunyai intelektual dan kecerdasan yang tinggi

5) Memiliki kesempurnaan fisik. Orang yang cantik, postur tubuh ideal, tampan dan ia memandang kelebihan yang ada pada dirinya, serta lupa akan keberadaannya sebagai manusia maka akan cenderung ujub.

4. Dampak Negatif

1) Ujub akan membawa ke arah kesombongan (kibar), karena ujub merupakan salah satu sebab timbulnya kesombongan dan hal itu memberikan pengaruh negatif yang sangat banyak.

2) Meremehkan dosa dihadapan Allah, karena merasa ibadahnya sudah sempurna.

3) Melupakan nikmat itu pemberian dari Allah karena merasa bahwa keberhasilannya itu merupakan hasil usahanya sendiri bukan pemberian Allah

4) Tidak takut azab dan kemurkaan Allah karena ia meyakini bahwa ia telah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah.

5) Menggugurkan pahala, karena Allah tidak akan menerima amalan kebajikan sedikitpun kecuali dengan ikhlas karena-Nya.

6) Enggan bermusyawarah dan berdiskusi dengan yang lain, juga enggan bertanya mengenai hal yang tidak diketahui. Ia lebih senang pada pendapatnya sendiri.

7) Hilangnya rasa saling menghormati, lenyapnya rasa simpati orang kepadanya dan menanamkan kebencian.

8) Enggan menerima nasehat orang lain karena menganggap orang lain lebih bodoh.

5. Cara Menghindari

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh setiap muslim agar dirinya terhindar dari

penyakit ’ujub diantaranya adalah sebagai berikut.

1) Selalu mengingat akan hakikat diri. Nyawa yang ada dalam tubuhnya semata-mata anugerah dari Allah. Andaikata Allah tiba-tiba mengambilnya, maka badannya tidak ada harganya sama sekali.

2) Sadar akan hakikat dunia dan akhirat. Dunia adalah tempat menanam amal shaleh untuk kebahagiaan di akhirat.

3) Menyadari bahwa sesungguhnya nikmat itu pemberian dari Allah, bukan semata-mata hasil usahanya. Ilmu, harta, kesehatan semua itu hanyalah titipan dari Allah

4) Selalu ingat akan kematian dan kehidupan setelah mati

5) Berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat Ujub.

6) Berusaha mau bekerja sama dan hidup saling menghargai


B. Sombong

1. Pengertian

Pengertian Sombong (Takabur)

Sombong (takabur) artinya adalah membanggakan diri sendiri. ”Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”(HR. Muslim). Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam bukunya, ”Halal Haram dalam Islam”, mencontohkan beberapa sikap sombong, diantaranya membantah guru, memperpanjang pembicaraan, serta menunjukkan adab buruk kepadanya. Bentuk kesombongan lain adalah menganggap rendah orang yang telah memberikan masukan kepadamu hanya karena dia berasal dari kalangan yang lebih rendah darimu.

Sombong itu merupakan anak dari ujub, akar dari sombong itu adalah ujub. Jadi, ujub itu melahirkan sombong. Terdapat perbedaan antara ujub dengan sombong. Adapun Ujub tidak memerlukan orang lain, sedangkan sombong membutuhkan orang lain sebagai pembandingnya. Islam melarang dan mencela sikap sombong. Allah berfirman:

Artinya:

”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS.Luqman [31]: 18).

2. Dalil Naqli

Perbuatan sombong adalah perbuatan yang tercela dan sangat dibenci oleh Allah. Allah

berfirman:

Artinya:

”Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.”(QS. al-A’raf [7]: 146)

Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya:

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat kesombongan sebesar buah dzarrah.”(HR. Bukhari).

3. Sebab-sebab

1) Merasa apa yang diucapkan benar, sehingga menganggap orang lain salah

2) Gila pujian. Jika mengetahui banyak orang memujinya, ia girang bukan main dan bertambah keangkuhannya.

3) Merasa banyak ilmu, banyak harta. Namun lebih fatalnya, ada orang tidak kaya tetapi dia bersikap sombong. Rasulullah Saw. bersabda: ”orang fakir yang berlaku sombong termasuk orang-orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah juga tidak akan menyucikan, tidak akan memandang mereka , dan bagi mereka azab yang pedih.” (HR. Muslim)

4) Amal dan ibadah. Ia merasa nanti hidupnya selamat sampai di akhirat sedangkan orang lain dianggap tidak selamat.

5) Karena nasab (garis keturunan) dan kelebihan fisik yang dimiliki

4. Dampak Negatif

1) Menjadi penghalang masuk surga, karena tidak memiliki akhlak seorang mukmin. Akhak mukmin adalah pintu surga dan kesombongan penutup pintu surga.

2) Mendapatkan hukuman di dunia karena kesombongannya.

3) Membuat orang lain membenci perilakunya

5. Cara Menghindari

1) Meningkatkan ibadah kepada Allah

2) Meningkatan keimanan dan ketakwaan

3) Menyadari dosa yang akan menimpa pada orang sombong

4) Mengganti dengan berperilaku tawadu’

5) Ikhlas dalam melakukan perbuatan

6) Menyadari segala kekurangan sebagai manusia

7) Menyadari bahwa hidup ini hanya sementara


C. Riya'

1. Pengertian

Pengertian riya’ menurut bahasa berasal dari kata al-Riya’u ( اَلْرِيَاءُ ) yang artinya menampakkan. Yaitu memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia.

Secara istilah riya’ adalah melakukan ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain, bukan karena Allah semata. Menurut Imam Ghazaly riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riya’ adalah melakukan amal kebaikan bukan karena niat ibadah kepada Allah, melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal kebaikannya kepada orang lain supaya mendapatkan pujian atau penghargaan. Salah satu sifat yang erat kaitannya dengan riya’ adalah sum’ah yaitu suka memperdengarkan atau menceritakan kebaikannya kepada orang lain.

2. Dalil Naqli

Allah berfirman :

Artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu

dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang

menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.” (QS. al-Baqarah [2]: 264).

3. Sebab-sebab

1) Terlalu dikagumi orang lain

2) Lari dari celaan

3) Rakus akan apa yang diperoleh/ terdapat pada orang lain

4) Ambisi mendapatkan kedudukan atau kepemimpinan

5) Senang karena lezatnya pujian orang lain

6) Lalai akan dampak buruk riya’

4. Dampak Negatif

1) Riya’ lebih berbahaya dari pada fitnah Dajjal

2) Nilai amal saleh hilang.

3) Riya’ adalah syirik khofi (tersembunyi)

4) Mereka ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala di akhirat.

5) Akan merasa hampa dan kecewa apabila perhatian dan pujian yang ia harapkan ternyata tidak didapatnya.

6) Terkena penyakit rohani berupa gila pujian atau gila hormat

7) Bisa menimbulkan pertengkaran bila ia mengungkit-ungkit kebaikannya pada orang lain.

8) Lebih sangat merusak dari pada serigala menyergap domba

9) Menjadi sebab azab di neraka

10) Menambah kesesatan seseorang

5. Cara Menghindari

Penyakit riya’ jangan dibiarkan terus menerus merusak jiwa kita. Kita harus berupaya

untuk menghindarinya dengan cara sebagai berikut.

1) Memperbaiki niat ibadah semata-mata karena Allah

2) Menghindari sikap suka memamerkan perbuatan baik

3) Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan

4) Meningkatkan kekhusyukan dalam beribadah

5) Mengingat bahaya perilaku riya’

6) Berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari sifat riya’

7) Hidup sederhana


Sumber:

Buku Akidah Akhlak Kelas X Madrasah Aliyah  Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2019

Rabu, 05 Agustus 2020

AKIDAH AKHLAK KELA X BAB II

AYO MENGENAL SIFAT-SIFAT ALLAH BAGIAN I



A. Sifat Wajib Bagi Allah

Sifat wajib bagi Allah Swt adalah sifat-sifat yang pasti (wajib) dimiliki oleh Allah Swt. yang sesuai dengan keagungan-Nya sebagai Pencipta alam dan seisinya. Setiap mukalaf wajib meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah pasti bersifat dengan segala kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya.  Berikut ini 20 sifat wajib bagi Allah. 

1) Wujud (Ada)
Allah adalah Dzat yang pasti ada. Dia berdiri sendiri, tidak diciptakan oleh siapapun, dan tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Ayat yang menjelaskan sifat Allah ini dalam al-Qur’an: 
Artinya:
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. as-Sajadah [32]: 4)

2) Qidam (Terdahulu/Awal)
Dialah sang pencipta yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Maksudnya, Allah telah ada lebih dulu dari pada apa yang diciptakannya. Ayat yang menjelaskan dalam alQur’an:
Artinya:
“Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Hadid [57]: 3)

3) Baqa’ (Kekal)
Maksudnya Allah maha kekal. Tidak akan punah, binasa, atau mati. Dia akan tetap ada selamanya. Ayat yang menjelaskan dalam Al Qur’an: 
Artinya:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Qashash [28]: 88)

4) Mukhalafatul Lil Hawaditsi (Berbeda dengan makhluk ciptaannya)  
Allah sudah pasti berbeda dengan ciptaanya. Dialah dzat yang Maha Sempurna dan Maha Besar. Tidak ada sesuatupun yang mampu menandingi dan menyerupai keagunganNya.
Ayat yang menjelaskan dalam Al Qur’an:  “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas [112]: 4)

5) Qiyamuhu Binafsihi (Berdiri sendiri)
Maksudnya Allah itu berdiri sendiri, tidak bergantung pada apapun dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Ayat yang menjelaskan dalam Al Qur’an: 

Artinya:
“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta”. (QS. al-Ankabut [29]: 6)

6) Wahdaniyah (Tunggal/ Esa)
Allah maha Esa atau Tunggal, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah satu-satunya Tuhan pencipta alam semesta. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya:
“Seandainya di langit dan di bumi ada Tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu akan binasa”. (QS. al-Anbiya [21]: 22)

7) Qudrat (Berkuasa)
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang bisa menandingi kekuasaan Allah Swt. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya:
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 20)

8) Iradat (Berkehendak)
Apabila Allah berkehendak, maka jadilah hal itu dan tidak ada seorangpun yang mampu mencegah-Nya. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an : 

“Sesungguhnya perintahnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ’jadilah!’ maka terjadilah ia.“ (QS. Yasin [36]: 82)

9) ‘Ilmu (Mengetahui)
Allah Swt. Maha Mengetahui atas segala sesuatu, baik yang tampak atau tidak tampak. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya:
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hadid: 4)

10) Hayat (Hidup)
Allah Swt. adalah Maha Hidup, tidak akan pernah mati, binasa, ataupun musnah. Dia kekal selamanya. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya:
“Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.” (QS. al-Furqon [25]: 58)  

11) Sama’ (Mendengar)
Allah Maha Mendengar baik yang diucapkan maupun yang disembunyikan dalam hati. Ayat yang menjelaskan dalam al- Qur’an: 

“Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Maidah [5]: 76)

12) Basar (Melihat)
Allah melihat segala sesuatu. Penglihatan Allah tidak terbatas. Dia mengetahui apapun yang terjadi di dunia ini. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

 “Sesungguhnya Dia (Allah) adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. al-Isra’ [17]: 1)

13) Kalam (Berfirman)
Allah itu berfirman. Dia bisa berbicara atau berkata secara sempurna tanpa bantuan dari  apapun. Terbukti dari adanya firmanNya dari kitab-kitab yang diturunkan lewat para Nabi. Ayat yang menjelaskan dalam al Qur’an:
 
Artinya:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. al-A’raf [7]: 143)

Terdapat adanya persamaan antara kalam Allah dengan kalam manusia, maka itu hanya pada bahasa atau lafal saja tidak pada hakikat, karena sifat kalam pada Allah adalah kadim dan tidak terdiri dari huruf-huruf yang merupakan bahasa manusia. Sedangkan al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Arab merupakan manifestasi dari sifat kalam yang kadim itu terdiri dari huruf-huruf. 

Dengan sifat kalam ini, Allah menyampaikan apa yang dikehendaki kepada para RasulNya, yakni wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia. Dengan melalui wahyu ini terwujud ajaran-ajaran yang kemudian membentuk suatu agama yang disebut Islam. Jadi Islam adalah
agama wahyu yang berasal dari kalam Allah.

14) Qadiran (Berkuasa)
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an:

 “Hampir kilat itu menyambar pengelihatan mereka. Setiap kali sinar itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. jika Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan pengelihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 20)

15) Muridan (Berkehendak)
Bila Allah sudah menakdirkan suatu perkara, maka tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya:
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hud [11]: 107)

16) ‘Aliman (Mengetahui)
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Baik yang ditampakan maupun disembunyikan. Tidak ada yang bisa menandingi pengetahuan Allah Yang Maha Esa. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 

Artinya: 
“Dan Allah Maha Mengetahui sesuatu” (QS. an-Nisa [4]: 176) 
 
17) Hayyan (hidup)
Allah adalah dzat yang hidup. Allah tidak akan mati, tidak akan tidur ataupun lengah. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an: 
ْ
 “Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup, yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah dia Maha Mengetahui dosa-dosa hambaNya.” (QS. al-Furqon [25]: 58)

18) Sami’an (Mendengar)
Allah selalu mendengar pembicaraan manusia, permintaan, ataupun doa hamba-Nya. Ayat yang menjelaskan dalam al-Qur’an:  

Artinya:
“Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al- Maidah [5]: 76)

19) Bashiran (Melihat)
Keadaan Allah yang melihat tiap-tiap yang maujud (benda yang ada). Allah selalu melihat gerak-gerik kita. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu berbuat baik. Ayat yang menjelaskan dalam Al Qur’an:  ْ

20) Mutakalliman (Berfirman atau berkata – kata)
Sama dengan Qalam, Mutakalliman juga berarti berfirman. Firman Allah terwujud lewat kitab-kitab suci yang diturunkan lewat para Nabi. Ayat yang menjelaskan dalam Al-Qur’an:  

Artinya:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. al-A’raf [7]: 143)

Sifat-sifat wajib bagi Allah yang terdiri atas 20 sifat itu dikelompokkan menjadi 4 sebagai
berikut.

1) Sifat Nafsiyah, yaitu sifat yang hanya berhubungan dengan Dzat Allah. Sifat nafsiyah ini ada satu, yaitu wujud.

2) Sifat Salbiyah, yaitu sifat yang menghilangkan sifat-sifat yang tidak layak atau tidak sesuai dengan kesempurnaan Allah. Ia menafikan sifat-sifat lawannya yang hanya sesuai sepenuhnya dengan makhluk dan mustahil adanya pada Dzat Allah. Yaitu sifat baru, binasa, bergantung kepada yang lain dan sebagainya adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia karena ia adalah tidak sempurna. Sifat Salbiyah ini ada lima, yaitu: qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, dan wahdaniyat.

3) Sifat Ma’ani, yaitu sifat-sifat abstrak yang wajib ada pada Allah. Ia menambah makna kesempurnaan pada Dzat Allah. Jikapun terdapat sifat-sifat tersebut pada manusia, maka persamaannya hanya pada lahir atau lafal saja, tidak pada hakikat. Misalnya, Allah mempunyai sifat ilmu dan juga manusia mempunyai sifat ilmu, tetapi limu Allah adalah mutlak, sedangkan ilmu manusia adalah relatif. Allah mengetahui sesuatu peristiwa di alam ini sebelum terjadinya, sedangkan manusia mengetahui setelah terjadinya. Yang termasuk sifat ma’ani ada tujuh, yaitu; qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar, kalam.

4) Sifat Ma’nawiyah, yaitu kelaziman dari sifat ma’ani. Sifat ma’nawiyah tidak bisa berdiri sendiri, sebab setiap ada sifat ma’ani tentu telah didefinisikan sebagai sifat yang ada pada sesuatu yang disifati yang otomatis menetapkan suatu hukum padanya, maka sifat ma’nawiyah merupakan hukum tersebut. Sifat ma’nawiyah merupakan kondisi yang selalu menetapi sifat ma’ani. Sifat ‘ilm misalnya pasti dzat yang bersifat dengannya mempunyai kondisi berupa kaunuhu aliman (keberadaannya sebagai Dzat yang berilmu).  

Dengan demikian itu sifat ma’nawiyah juga ada tujuh sebagaimana ma’ani, yaitu: kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu ‘aliman, kaunuhu hayyan, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiran, kaunuhu mutakalliman. 

B. Sifat Mustahil bagi Allah 
Sifat mustahil ini adalah kebalikan dari sifat wajib. Maksudnya sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh Allah Azza wa jalla yang Maha Sempurna. Berikut sifat-sifat mustahil bagi Allah beserta artinya menurut dalil agama.

1) Adam (Tiada)
Sifat mustahil yang pertama adalah Adam yang berarti tiada. Sifat ini kebalikan dari wujud yang artinya ada. Dalil naqli yang menunjukkan adanya Allah SWT., yakni: 

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”(QS.Al-Araf : 54)

2) Huduts (Ada yang mendahului)
Hudust berarti ada yang mendahului, merupakan lawan kata dari qidam. Tidak mungkin ada yang mendahului keberadaan Allah Azza wa Jalla. Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Tentunya Pencipta sudah pasti lebih dahulu dari apa-apa yang diciptakanNya. 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)

4) Mumatsalatu lil hawaditsi  (Ada yang menyamai)
Allah SWT. adalah dzat yang menciptakan segala sesuatu di bumi dan alam semesta. Dialah yang Maha Agung. Tidak mungkin ada sesuatu yang menyamai atau menandingiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”. (QS. Asy-Syura: 11)

5) Ihtiyaju lighairihi  (Memerlukan yang lain)
Allah SWT. tidak memerlukan yang lain. Dia mampu mewujudkan dan mengatur segalanya secara sempurna tanpa bergantung pada siapapun. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran: 

“Dan katakanlah segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra:111)

6) Ta’adud  (Berbilang)
Ta’adud adalah kebalikan dari wahdaniyah yang berarti tunggal. Allah itu Maha Esa. Tidak mungkin berbilang atau berjumlah lebih dari satu. Allah SWT. tidak memiliki sekutu, tidak beranak dan tidak diperanakan. Bukti keesaan Allah tertuang dalam kalimat syahadat dan juga dalam ayat Al-Quran seperti dalam QS. al-Ikhlas ayat 1-4.
 
7) Ajzun (Lemah)
Ajzun berarti lemah, merupakan lawan kata dari dari qudrat yang artinya berkuasa. Jadi Allah tidak mungkin bersifat lemah. Sebaliknya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang bisa melampui kekuasaan Allah SWT. Dalam Al-Quran dijelaskan: “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah: 20)

8) Karahah  (Terpaksa) 
Allah tidak memiliki sifat terpaksa. Sebaliknya Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Tidak ada yang bisa melawan ataupun menandingi kehendak dari Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran: 

 “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”(QS. Hud: 107)

9) Jahlun  (Bodoh)
Mustahil bagi Allah SWT. bersifat bodoh. Dia menciptakan alam semesta dengan segala isinya begitu sempurna. Dia tidak membutuhkan bantuan siapapun. Dan dialah yang Maha Kaya lagi Maha Mengetahui.

10) Mautun (Mati)
Allah tidak akan mati. Dia bersifat kekal. Terus-menerus mengurus makhluknya Tanpa tidur dan tidak letih sedikitpun. Dijelaskan dalam Al-Quran:

 “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

11) Shamamun  (Tuli)
Mustahil Allah bersifat Tuli. Allah SWT. adalah Tuhan yang Maha Mendengar. Pendengaran Allah meliputi segala sesuatu.

“Katakanlah cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.” (Al-Ankabut : 52).

12) Ama (Buta)
Allah SWT. juga tidak buta. Dia Maha Melihat Segala Sesuatu. Tak ada satu hal pun yang luput dari penglihatan-Nya. 

“Dan Allah Maha Melihat atas apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hujarat: 18)

13) Bakamun (Bisu) 
Allah SWT. tidaklah Bisu. Allah berkata dan berfirman dengan sangat sempurna. Tak ada bisa mengalahkan keindahan firman Allah SWT. Dan salah satu Nabi yang pernah berbicara langsung dengan Allah adalah Nabi Musa. Allah berfirman: 

“Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya, dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa Allah ‘telah berfirman secara langsung.” (QS. An-Nisa’: 164)

14) ‘Ajizan  (Zat yang lemah)
Mustahil Allah bersifat lemah. Allah SWT. adalah pencipta alam semesta dan segala isinya. Dia Maha Kuasa atas semua hal. Dia berfirman: 

“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah 109)

15) Karihan  (Zat yang terpaksa)
Allah SWT. bukanlah dzat yang terpaksa. Dia Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Hanya berfirman “kun fa yakun” maka jadilah apa yang dikehendaki oleh Nya. Dia berfirman:

“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS.Hud: 107)

16) Jahilan (Zat yang sangat bodoh)
Mustahil Allah adalah dzat yang bodoh. Allah Maha Mengetahui dan Melihat apa-apa yang ditampakkan atau disembunyikan.

17) Mayyitan  (Zat yang mati) 
Allah tidak mati. Allah bersifat kekal, tidak musnah dan tidak binasa. Dia tidak pernah tidur. Selalu mengawasi hamba-hambaNya setiap saat.

18) Ashamma (Zat yang tuli)
Mustahil Allah bersifat tuli. Allah adalah Tuhan yang Maha Mendengar. Pendengaran Allah tak terbatas dan meliputi segala sesuatu.

19) A’ma  (Zat yang buta)
Allah Maha Melihat, tidaklah buta. Dia Maha Sempurna dengan seluruh keagunganNya.

20) Abkama (Zat yang bisu)
Allah bukanlah dzat yang bisu. Allh berfirman dan firmanNya tertuang dalam kitab-kitab suci yang diturunkan lewat para nabi. Allah berfirman: 

“Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya, dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa Allah ‘telah berfirman secara langsung.” (QS. An-Nisa’: 164) 
 
C. Sifat Jaiz Allah
Pengertian sifat jaiz Allah adalah sifat yang mungkin (boleh) ada atau sifat yang mungkin (boleh) tidak ada pada Allah. Dalam kalimat lain, sifat jaiz ini adalah sifat yang bisa melekat pada Allah dan bisa pula tidak melekat pada Allah. Sebab semua adalah berdasarkan kehendak-Nya, maka Allah bisa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 

Apabila sifat wajib dan sifat mustahil Allah Swt. ada banyak, maka sifat jaiz pada Allah hanya satu yakni 
"Allah  dapat melakukan sesuatu hal dan dapat pula tidak melakukan sesuatu hal."

Tidak ada kewajiban atas-Nya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak ada pula paksaan kepada-Nya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kehendak sepenuhnya ada pada Allah.

D. Keutamaan Mengenal Nama dan Sifat Allah
Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah sangatlah penuh dengan kebaikan dan keutamaan, serta mengandung beraneka ragam manfaat.

1) Mengenal nama dan sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang kedudukannya paling tinggi dan derajatnya paling agung, karena mulianya ilmu dilihat dari mulianya sesuatu yang dipelajari. 

2) Semakin mengenal Allah berarti semakin mencintai dan mengagungkan-Nya, juga semakin takut, berharap, ikhlas dalam beramal kepada-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, maka semakin ia berserah diri kepada Allah, semakin ia menjalani perintah dan menjauhi larangan-Nya  dengan baik.  

3) Allah itu menyukai nama dan sifat-Nya, Allah pun suka jika nama dan sifat-Nya nampak bekasnya pada makhluk-Nya. Inilah bentuk kesempurnaan Allah. 

4) Iman akan semakin bertambah, semakin mengenal Allah maka akan semakin merasa bahwa Allah selalu bersamanya.

5) Jika seseorang mendalami nama dan sifat Allah berarti ia telah sibuk dalam tujuan ia diciptakan (yaitu untuk beribadah). Melalaikan mempelajarinya, berarti melalaikan dari tujuan penciptaan-Nya.

6) Menenangkan jiwa dan melapangkan hati. Juga ia akan merindukan surga Firdaus, hingga rindu melihat wajah Allah yang mulia.

7) Menguatkan iman. Diantara rukun iman yang enam adalah iman kepada Allah.  Itulah rukun iman yang paling afdal.

8) Mengetahui hukum dan ketentuan dengan baik karena mengenal Allah. 

9) Sebagai motivasi untuk kuat dalam sabar, semangat dalam ibadah, jauh dari kemalasan, takut berbuat dosa dan menghibur duka 

10) Disiplin dalam bersikap, bertanggung jawab dalam berbuat, karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang dilakukan makhluk-Nya. 




Sumber:

Buku Siswa Akidah Akhlak Kelas X Direktorat KSKK Madrasah dan Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia







AKIDAH AKLAK KELAS XI


Bismillahirahmanirrahim...
Assalamu alaikum warahmatulllahi wabarakatuh
Berikut adalah materi Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam

A. Aliran Khawārij
1. Sejarah  Khawārij
Istilah Khawārij  berasal dari Bahasa Arab “khawārij”, yang berarti mereka yang  keluar. Nama ini digunakan untuk memberikan atribut bagi pengikut Ali bin Abi Ṭālib   yang  keluar dari golongannya dan kemudian membentuk kelompok sendiri.  Penamaan terhadap kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib bukanlah julukan yang diberikan dari luar kelompoknya saja, tetapi mereka juga  menamakan diri dengan sebutan  Khawārij  dengan pengertian orang-orang yang keluar pergi perang untuk menegakkan kebenaran. Penamaan ini diambilkan dari QS. An-Nisa’ (4): 100. 
 

Artinya: 

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 100.)

Nama lain Khawārij adalah  harūriyah yang dinisbahkan kepada perkataan harur, yaitu nama sebuah desa yang terletak di kota Kufah di Irak, dimana kaum Khawārij yang berjumlah 12.000 orang bertempat sesudah memisahkan diri dari pasukan Ali. Disini mereka memilih Abdullāh   bin  Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti Ali bin  Abi Ṭālib. Rekam jejak kaum Khawārij telah ada sejak zaman  Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dari  sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Saw. pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.” Maka Umar bin Khaṭab ra. berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian dinilai bahwa salat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan salat dan puasa mereka, mereka selalu membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. 

Kemudian dilihat rishafnya (tempat asuk nashl pada anak panak) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat dari  nadhi-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada ada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah hewan buruan. Ciri-cirinya: di tengah-tengan mereka; ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payu dara wanita atau seperti daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Timbul-tenggelamnya Khawārij juga dapat dilacak pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dr. Saleh bin Fauzan al-Fauzan menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak di akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan”. Setelah pemerintahan  dipegang oleh Ali bin Abi Ṭalib, mereka juga memberontak dengan dalih, pemerintahan Ali telah menyalahi hukum yang dibuat oleh Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Khawārij selalu memberontak kepada pemerintahan yang sah. Hal ini sesuai dengan salah satu doktrin politiknya, yaitu memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jama’ah muslimin merupakan bagian dari agama.

Asy-Syahratsani berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan khariji (seorang khawārij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin atau kepada pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”

Al-Imam an-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawārij dikarenakan keluarnya mereka dari jama’ah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Saw. .: “Akan keluar dari diri orang ini…” (HR. Muslim)
  
2. Sekte Khawārij dan doktrin ajarannya
a. Al-Muhakkimah 
Sekte ini merupakan golongan Khawārij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka lā hukma illā lillāh ( menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah) yang merujuk kepada QS. Al- An’ām  (6): 57 berikut: 

Artinya:

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS.  Al-An’ām [6]: 57)

Mereka menolak  tahkīm karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah Swt. dalam QS.  al-Hujurât (49): 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah Swt. 

Artinya: 

dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS.  Al-Hujurāt [49]: 9) 

b. Al-Azariqah 
Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke-7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpinnya, yaitu Abi Rasyid Nafi’ bin al-Azraq. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari amirul mukminin. Menurut al-Baghdadi, pengikut Nafi’  berjumlah lebih dari 20.000  orang. 

 Setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Bahkan pengikut al-Azariqah yang tidak  berhijrah ke  dalam wilayahnya, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan dan dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka
sebagai dar al-Islām (negara Islam), di luar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir).

Al-Azariqah mempunyai sikap yang lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir, tetapi istilah musyrik. Di dalam Islam, syirik merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufur. Mereka juga mempunyai doktrin,  orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah termasuk orang musyrik. Begitu juga pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.  

c. An-Najdah
Pendiri sekte ini adalah Najdâh bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah.  Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah yang mereka pandang terlalu ekstrem. Paham teologi   an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir. Orang seperti ini menurut mereka
akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Pengikut an-Najdâh sendiri tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Bagi mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar bila dikerjakan terus-menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdâh yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.

d. Al-‘Ajaridiyah 
Pendiri  sekte ini adalah Abdul Karīm bin Ajarad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, doktrin teologi kaum al-Ajaridiyah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti yang diajarkan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita
percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari Al-Qur’an. 

e. As-Sufriyah
Nama as-Sufriyah dinisbahkan kepada Ziad bin Ashfār. Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Doktrin teologinya yang penting adalah istilah kufr atau kafir. Istilah kafir itu mengandung dua arti, yaitu kufr an-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr billāh (mengingkari Tuhan). Untuk arti pertama, kafir tidak berarti keluar dari
Islam.

f.  Al-Ibadiyah. 
Sekte ini dimunculkan oleh Abdullāh   bin Ibad al-Murri at-Tamimi pada tahun 686 M. Doktrin teologi yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dikatakan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam). 

Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar at-tauhid (daerah yang dikuasai  orang–orang  Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyyah dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran Khawārij.
  
B. Aliran  Syi’ah
1. Sejarah Syi’ah
Syi’ah  menurut bahasa berarti sahabat atau pengikut. Dalam kajian ilmu kalam, kata syi’ah lebih spesifik ditujukan kepada   orang-orang  yang menjadi pengikut atau pendukung Ali bin  Abi Ṭālib. Menurut Macdonald,  para pendukung Ali ini tidak mau menerima penamaan diri mereka dengan Syi’ah sebagai suatu golongan atau sekte, kaum sunni yang memberi nama Syi’ah kepada mereka itu sebagai suatu ejekan. Tetapi menurut Watt, penamaan Syi’ah terhadap para pendukung dan pengikut Ali itu bukanlah diciptakan oleh lawan-lawan mereka, namun oleh mereka sendiri.

Menurut Asy-Syahratsani, Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut (syaya’u)  Ali bin  Abi Ṭālib , dan berpendirian bahwa keimaman/kekhalifahan itu berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian (nashwashiyah) baik dilakukan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi atau rahasia, dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali bin Abi Ṭālib. 

Munculnya aliran Syi’ah tidak dapat dipisahkan dari tokoh kontroversial yang bernama Abdullāh   Ibnu Saba’. Abdullāh Ibnu Saba’  adalah seorang pendeta Yahudi berasal dari Yaman yang pura-pura masuk Islam. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Abdullāh   Ibnu Saba’  ini masuk Islam dengan tujuan hendak merusak Islam dari dalam karena mereka tidak sanggup mengacaukan dari luar.  

Propaganda yang pertama kali dilancarkan oleh Abdullāh   Ibnu Saba’  adalah dengan cara menyebarkan fitnah tehadap Khalifah Utsman bin Affan dan menyanjung-nyanjung Ali bin  Abi Ṭālib    secara berlebih-lebihan. Propaganda ini mendapatkan sambutan dari sebagian masyarakat Madinah, Mesir, Bashrah, dll. Dia sangat berani membuat hadiś palsu yang bertujuan mengagung-agungkan Ali bin  Abi Ṭālib  dan merendahkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, dan Utsman bin Affan. Diantara propaganda Abdullāh   Ibnu Saba’  adalah:

a. al-Wishoyah
Arti al-wishoyah adalah wasiat. Nabi Muhammad Saw.  berwasiat supaya khalifah (imam) sesudah beliau adalah  Ali bin  Abi Ṭālib, sehingga beliau diberi gelar al-washiy (orang yang diberi wasiat).

b. Ar-Raj’ah
Arti ar-raj’ah ialah kembali. Ibnu Saba’  menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw.  tidak boleh kalah dengan Nabi Isa As. Kalau Nabi Isa As. akan kembali pada akhir zaman  untuk menegakkan keadilan, maka Nabi Muhammad Saw.  lebih patut untuk kembali. Ali bin  Abi Ṭālib juga akan kembali di akhir zaman  untuk menegakkan keadilan. Ia tidak percaya bahwa Ali bin  Abi Ṭālib  telah  mati terbunuh tetapi  masih hidup.

c. Ketuhanan Ali bin  Abi Ṭālib  
Ibnu Saba’  juga mempropagandakan paham bahwa dalam  tubuh Ali bin Abi Ṭālib   bersemayam unsur ketuhanan. Oleh karena itu Ali bin  Abi Ṭālib  mengetahui segala yang gaib , dan selalu menang dalam peperangan melawan orang kafir, suara petir adalah suara Ali bin  Abi Ṭālib  , dan kilat adalah senyumannya. 
 
2. Sekte-Sekte Syiah Dan Pahamnya
K.H. Sirajuddin Abbas menyebutkan, bahwa Syi’ah itu terpecah belah menjadi  22 golongan, diantaranya adalah:

a. Syi’ah Sabaiyah
Syi’ah ini adalah pengikut Abullah Ibnu Saba’. Sekte ini termasuk syi’ah ghaliyah (syi’ah yang keterlaluan, yang berlebih-lebihan). Disamping mempercayai kembalinya Nabi Muhammad dan Ali bin  Abi Ṭālib   di akhir zaman  nanti,  juga memenyebarkan paham bahwa malaikat Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan. Karena sebenarnya wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Ali bin  Abi Ṭālib   tetapi justru diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. 

b. Syi’ah Kaisaniyah
Syi’ah ini adalah pengikut Mukhtar bin Ubay as-Tsaqafi. Golongan ini tidak mempercayai adanya ruh Tuhan dalam tubuh Ali bin  Abi Ṭālib, tetapi mereka meyakini bahwa Imam  Syi’ah adalah ma’sum dan mendapatkan wahyu.

c. Syi’ah Imamiyah 
Yaitu Syi’ah yang percaya kepada Imam-imam yang ditunjuk langsung oleh nabi Muhammad Saw.  yaitu Ali bin  Abi Ṭālib   sampai 12 orang Imam keturunannya, yaitu: 
1) Ali bin  Abi Ṭālib   (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin  Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8) Ali bin  Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10) Ali bin  Muhammad (827-868 M), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874 M), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12) Muhammad bin Hasan (868- M), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi 

d. Syi’ah Isma’iliyah
Yaitu Syi’ah yang  mempercayai hanya 7 orang Imam, yaitu mulai Ali bin  Abi Ṭālib   dan diakhiri Ismail bin Ja’far as-Shaddiq yang lenyap dan akan keluar pada akhir zaman . Sekte Syi’ah Ismailiyah ini berkembang di Pakistan yang merupakan murid Aga Khan. Urutan imam-imam yang dipercaya oleh Syi’ah Isma’iliyah adalah:
1) Ali bin  Abi Ṭālib   (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin  Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ashShadiq
7)Ismail bin Ja'far (721-755 M), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim. 

e. Syi’ah Zaidiyah
Yaitu Syi’ah pengikut Imam Zaid bin Ali bin  Husein bin Ali bin  Abi Ṭālib, Syi’ah ini berkembang di Yaman. Sekte ini termasuk yang tidak ghullat. Mereka tidak mengkafirkan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, Utsman bin Affan, walaupun berkeyakinan bahwa Ali bin  Abi Ṭālib   lebih mulia dari ketiganya. Mengenai pelaku dosa besar, mereka berkeyakinan apabila mati sebelum taubat maka akan masuk neraka selama-lamanya. 

f. Syi’ah Qaramithah
Yaitu kaum Syi’ah yang suka menafsirkan al-Qur’an sesuka hatinya. Mereka mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah muballigh mereka dan setan-setan adalah musuh mereka, sembahyang adalah mengikuti mereka, haji adalah ziarah kepada imam-imam mereka. Orang yang sudah mengetahui sedalam-dalamnya Allah, tidak perlu sembahyang, puasa, dll. 

C. Aliran Murji’ah
1. Sejarah Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari bahasa Arab arja’a yang artinya menunda. Aliran ini disebut Murji’ah karena  mereka menunda menghukumi persoalan konflik politik antara Ali bin  Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan Khawārij sampai pada hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah diantara ketiga golongan tersebut.

Murji’ah adalah salah satu aliran kalam yang muncul pada abad pertama hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahratsani menyebutkan dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal, bahwa orang yang pertama membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi. 

Diantara tokoh Murji’ah yang muncul pada abad pertama hijriyah adalah: Abu Hasan ash-Sholihi, Yunus bin an-Namiri, Ubaid al-Muktaib, Bisyar al-Marisi, Muhammad bin Karam. Aliran ini muncul sebagai reaksi dari beberapa paham  yang ada pada saat itu, misalnya:
a. Pendapat Syi’ah yang menyalahkan bahkan mengkafirkan orang-orang yang dianggap merebut jabatan khalifah Ali bin  Abi Ṭālib .
b. Pendapat  Khawārij yang menghukum kafir Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dan pendukungnya, karena merebut kekuasaan yang sah yaitu Ali bin  Abi Ṭālib, begitu juga mengkafirkan Ali bin  Abi Ṭālib dan pendukungnya karena menerima Tahkīm dalam perang siffin.
c. Pendapat pengikut Mu’awiyah yang menganggap bahwa Ali bin  Abi Ṭālib   terlibat dalam konspirasi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
d. Pendapat sebagian pengikut  Ali bin  Abi Ṭālib    yang beranggapan bahwa Siti ‘Aisyah, Thalhah, Zubair dan siapapun yang terlibat dalam perang jamal adalah salah.

Pada awalnya kaum Murji’ah hanya terlibat dalam perdebatan di bidang siasah, politik dan khilafah saja, tetapi dalam perkembangannya juga terlibat dalam bidang teologi Islam.
 
Tokoh-tokoh lain  yang lahir pada masa itu adalah: Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Samman (w. 152 H), Tsaubah, Dhirar, bin Umar. Sedangkan penyair Murji’ah yang terkenal pada masa Daulah  Umayyah adalah Tsabit bin Quthanah.

2. Sekte-Sekte Murji’ah Dan Pahamnya
a. Murji’ah Moderat 

Asy-Syahrasyani menyebutkan beberapa  tokoh yang termasuk dalam golongan Murji’ah moderat yaitu: al-Hasan bin  Muhammad bin  Ali bin   Abi Ṭālib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadiś. Golongan  ini berpendapat, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir, dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan dihukum di neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Bisa jadi orang yang melakukan dosa besar itu bertobat,  dan tobatnya diterima Allah. Sehingga hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar, ditunggu pada putusan akhir Allah di akhirat kelak. 

b. Murji’ah Ekstrim
Yang termasuk Murji’ah ekstrim adalah: al-Jahmiah (pengikut Jaham bin Shafwan), al-Salihiyah (pengikut Abu al-Hasan al-Salihi), al-Yunusiyah, alKhassaniyah.

Al-Jahmiyah berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan, dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya di hati, dan apabila mati tetap menyandang predikat mukmin yang sempurna. Al-Salihiyah berpendapat, iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.

Al-Yunusiah berpendapat, melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat, tidaklah merusak iman seseorang. Demikian juga Golongan al-Ubaidiyah. Muqatil bin  Sulaiman mengatakan, bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan orang musyrik atau polytheist.
Al-Khasaniyah berpendapat, jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Dan jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian itu juga tetap mukmin.

Ajaran yang demikian itu oleh Harun Nasution dianggap berbahaya, karena akan membawa kepada moral atitude, yaitu sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, yaitu masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Inilah kelihatannya yang menjadi sebab nama Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti buruk sehingga tidak diikuti oleh masyarakat.
 
D. Aliran Jabariyah  
1. Sejarah Jabariyah 
 Aliran ini mauncul dari sikap yang skeptis terhadap situasi politik pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān.  Perasaan tidak berdaya itu kemudian dirumuskan dalam  pemikiran teologi, bahwa semua perbuatan manusia  merupakan wujud kehendak Allah. Doktrin teologi   yang demikian itu sangat menguntungkan Mu’awiyah yang saat itu sedang memegang kekuaaan, sehingga pemikiran keagamaan ini  dipolitisasi oleh Mu’awiyah  untuk melegitimasi aksi politiknya. Paham Jabariyah  ini, pertama kali dilontarkan oleh  Ja’ad bin Dirham, yang selanjutnya dikembangkan oleh  Jaham bin Shafwan (w. 131 H). Oleh sebab itu,
aliran ini sering juga disebut aliran Jahamiyah.
 
2. Doktrin Ajaran Jabariyah 
 Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata, sehingga aliran ini dikatakan fatalism atau predestination. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. 
 
E. Aliran Qadariyah
1. Sejarah Qadariyah
Persoalan politik adalah latar belakang  utama yang memicu munculnya Aliran Qadariyah. Sebagaimana diketahui, bahwa  Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān sangat gencar mendelegitimasi pemerintahan Ali bin  Abi Ṭālib. Bahkan setelah Ali bin  Abi Ṭālib  meninggal, Mu’awiyah menggunakan berbagai cara untuk melemahkan pengaruh keluarga Ali bin  Abi Ṭālib. Mendiang Ali bin  Abi Ṭālib   dicaci-maki dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat khutbah Jum’at.

Para ulama yang saleh banyak yang tidak setuju dengan gaya politik Mu’awiyah, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembangkan doktrin  bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan nasipnya sendiri. Paham teologi ini  dimanfaatkan  oleh Mu’awiyah untuk melanggengkan kekuasannnya. Dalam suasana ini muncul Ma’bad al-Jauhani (w. 80 H) dan Ghailan ad-Dimasyqy dan melontarkan kritik kepada Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dengan pendekatan teologis, yang kemudian dikenal dengan paham  Qadariyah.  

2. Doktrin Ajaran Qadariyah
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan keẓaliman. Manusia diberi  daya oleh Allah dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan sehingga dinamakan aliran free will and free act. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.

Bila manusia  melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhirat. Sedang mereka yang  perbuatan buruk, akan memperoleh siksa di neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan melihat keẓaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan keẓaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Doktrin ajaran Ma’bad dan Ghailan yang mengajarkan  bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka paham nya dinamakan paham  “Qadariyah”.

Ghailan al-Dimasyqi terus menyebarkan paham Qadariyah dengan melontarkan kritik terhadap Bani Umayyah, sehingga sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mati pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul al-Malik (105-125 H). Sebelum dijatuhi hukuman mati, diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza’i yang dihadiri oleh Hisyam bin Abdul Malik tentang otoritas manusia dalam menciptakan perbuatan. Bagi Ghailan, kemampuan berbuat yang diberikan oleh Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk digunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk al-Qur’an dan alSunnah,

maka mereka akan memperoleh kebahagian. Dan sebaliknya, kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan Tuhan. Allah Swt. berfirman dalam  QS. al-Kahfi (18): 29 yang berbunyi:

Artinya: 
“Barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang beriman) maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”. (QS.  Al-Kahfi [18]: 29)

F. Aliran Mu’tazilah
1. Sejarah Mu’tazilah
Lahirnya aliran Mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiranpemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Waṣil bin Aṭo’ (salah seorang murid Hasan al-Baṣri) di Bashrah, atas pemikiran yang dilontarkan Khawārij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan al Baṣri bertanya tentang tanggapan Waṣil terhadap pemikiran Khawārij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir. 

Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir, yaitu orang fasik. Kemudian Waṣil memisahkan diri dari jamaah Hasan al-Baṣri, dan gurunya itu secara spontan berkata “i’tazala ‘anna” (Waṣil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Waṣil menjadi sebuah aliran yang oleh anggota jamaah Hasan al-Baṣri dinamai dengan “Mu’tazilah”. Corak pemikiran kalam  

Mu’tazilah  lebih cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini  terkenal dengan aliran kalam rasional. Mereka  menamakan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga keesaan Allah) dan ahlu al-‘adl (mempercayai dan menyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. 
Aliran  Mu’tazilah sempat dijadikan sebagai aliran resmi pada  masa pemerintahan  Daulah  Bani Abbasiyah yaitu pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H),    al-Mu’tashim (218-227 H) dan al-Watsiq (227-232 H) dan berakhir pada masa al-Mutawakil (234 H), sehingga pengaruh aliran Mu’tazilah menjadi lemah dan diganti  dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah.
 
2. Pokok ajaran Mu’tazilah 
Ajaran Mu’tazilah dituangkan dalam al-Ushul al Khamsah (lima dasar ajaran), yaitu:
(1) al-Tauhīd (keesaan Allah), (2) al-‘adlu (keadilan Allah), (3) al-wa’du wa al-wa’id
(janji dan ancaman),  (4) al-manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara dua
posisi), dan (5) amar ma’ruf nahi munka (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar).

a. Tauhīd (Ke-Esaan Allah Swt.)
1) Mengingkari sifat-sifat Allah Swt., menurut Kaum Mu’tazilah apa yang dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
2) Al-Qur’an menurutnya adalah makhluk (baru);
3) Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia, karena
Allah tidak akan terjangkau oleh indera mata.

b. Keadilan Allah Swt.
 Doktrin teologi Mu’tazilah yang berkaitan dengan keadilan adalah:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan laranganlarangan-Nya

dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikankebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya. Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. Apabila  berbuat baik maka akan diberi balasan pahala dan sebaliknya apabila berbuat buruk maka akan mendapatkan dosa dan siksa. Itulah yang dianggap adil oleh Mu’tazilah, karena manusia mempunyai akal untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum berbuat. Dan perbuatan manusia itu murni dari manusia itu sendiri, karena Allah tidak campur tangan dalam perbuatan manusia.

c. Janji dan ancaman 
 Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah Swt. tidak akan mengingkari janjiNya, memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa. Manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih berbuat baik atau buruk. Apabila berbuat baik maka akan dimasukkan surga, dan sebaliknya yang berbuat buruk akan di siksa di neraka selama-lamanya.  

d. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Waṣil bin Aṭo’ memisahkan diri dari majlis Hasan al- Baṣri. Menurut pendapatnya, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin, tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir.  Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati atas dosanya maka tidak dihukumi mukmin, juga bukan kafir, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, tetapi hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni oleh
orang-orang kafir. 

e. Amar makruf dan nahi mungkar
Doktrin Mu’tazilah  tentang amar makruf dan nahi mungkar  pada awalnya mempunyai kesamaan dengan doktrin Ahlussunnah, yaitu bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran.  Namun, dalam perkembangannya digunakan untuk memaksa kepada pihak yang tidak sepaham dengan teologi Mu’tazilah untuk menerimanya. Para ulama yang dicurigai tidak sependapat dengan Mu’tazilah dinterogasi dan dipaksa untuk menerima pandangan teologinya, khususnya tentang kemakhlukan Kalamullah
(al-Qur’an). Inilah yang dinamakan mihnah.

Para pejabat dan ulama yang tidak mau mengakui  kemakhlukan al-Qur’an akan dipenjarakan dan disiksa, bahkan ada yang meninggal. Alasannya adalah bahwa orang yang tidak mengakui Kalamullah itu makhluk, maka dihukumi musyrik. Diantara Ulama yang menjadi korban mihnah  adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang disiksa di penjara karena tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an. 


G. Aliran Asy’ariyah
1. Sejarah Asy’ariyah
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali bin  Isma’il  al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy’ari mengawali belajar ilmu kalam dari ayah tirinya yang bernama Ali al-Jubbai yang beraqidah Mu’tazilah. Dengan demikian maka al-Asy’ari mempunyai paham yang sama dengan gurunya, yaitu Mu’tazilah. Aliran ini diyakininya sampai berusia 40 tahun. Beliau mempelajari aliran Mu’tazilah dengan serius dan  mendalaminya, hingga sampai suatu saat terjadilah dialog/debat yang serius antara alAsy’ari  dengan al-Jubba’i. Al-Asy’ari mengajukan pertanyaan kepada gurunya tentang kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil. Berikut dialognya: 
 
Al-Asy’ari :  Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat nanti? 

Al-Jubba’i :  Yang mukmin mendapat tempat yang baik di surge, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terbebas dari bahaya neraka. 

Al-Asy’ari :  Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge,
mungkinkan itu? 

Al-Jubba’i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan, sedangkan anak kecil belum melaksanakan kepatuhan itu. 

Al-Asy’ari :  Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau beri kesempatan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu. 

Al-Jubba’i :  Allah akan menjawab: “Aku tahu, bahwa jika engkau terus hidup maka akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hokum. Maka untuk kebaikanmu/kepentinganmu, Aku mencabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab/baligh. 

Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya anak kecil, apa Sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku? 

Sampai pada akhir dialog tersebut, al-Jubba’i terdiam dan tidak dapat menjawab pertanyaan al-Asy’ari, sehingga al-Asy’ari merasa tidak puas dan mulai meragukan doktrin ajaran Mu’tazilah. Dari keraguan itulah, maka al-Asy’ari munajat untuk memohon petunjuk kepada Allah Swt. dan tidak keluar dari rumah selama 15 hari. Setelah hari ke-15 kemudian ia pergi ke masjid Bashrah untuk mengumumkan keteguhannya dalam meninggalkan aliran Mu’tazilah. Di samping alasan tersebut. al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena sikap Mu’tazilah yang lebih mementingkan pendekatan akal dari pada menggunakan al-Qur’an dan hadiś. Untuk itu, al-Asy’ari mulai mengembangkan ajaran teologinya dengan  mendahulukan dalil naqli (al-Qur’an dan al-hadiś) dan membatasi penggunaan logika filsafat. 

Corak   pemikiran kalam Abu Hasan al-Asy’ari yang demikian itu menjadi mudah dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga memperoleh pengikut serta pendukung yang banyak. Imam Abu Hasan al-Asy’ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Mu’tazilah di mana-mana, sehingga nama beliau masyhur sebagai Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan paham  Mu’tazilah. 

Aliran teologinya  disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah karena  lebih banyak menggunakan al-Sunnah dalam merumuskan doktrin kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal-jama’ah) dari kalangan masyarakat, karena kesulitan mengikuti pemikiran kalam  aliran Mu’tazilah yang menggunakan corak pemikiran filsafat yang rumit. Pemikiran aliran Asy’ariyah kemudian dikembangkan oleh generasi penerusnya, yaitu Imam al-Ghazali (450-505 H/ 10581111 M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210 M), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H/1027 M), Abu Bakar al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M).
  
2. Pokok-pokok Ajaran  Asy’ariyah
a. Sifat Tuhan 
Pandangan al-Asy’ari tentang sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara Mu’tazilah  dan   Mujassimah.  Mu’tazilah tidak mengakui sifat wujud, qidam, baqa’ dan wahdaniah (ke-Esaan) dan sifat-sifat  yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain. Golongan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Allah  sesuai dengan Zat Allah sendiri namun sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar, Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.

b. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat  al-Asy’ari dalam soal ini juga di tengah-tengah antara  Jabariyah  dan  Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Al-Asy’ari  mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa karena memperoleh (kasb) dari  Allah.

c. Keadilan Tuhan
Menurut Al-Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.

d. Melihat Tuhan di akhirat
Menurut  Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti, walaupun di surga. Paham ini berlawanan dengan paham Asy’ariyah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surga oleh hamba-hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia, Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Qiyāmah (75) : 22-23 sebagai berikut:َ 

Artinya: 

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al-Qiyāmah [75] : 22-23)
 
Berdasarkan ayat tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa ketika orang mukmin dimasukkan ke surga, maka wajah mereka berseri-seri karena kegembiraannya. Dan kegembiraan yang paling tinggi adalah ketika mereka melihat Tuhan. Secara akliyah, setiap yang ada/wujud dapat dilihat, Tuhan itu ada maka bisa dilihat. Adapun tentang bagaimana cara-caranya penghuni surga melihat Tuhan, maka diserahkan kepada Tuhan.

e. Dosa besar
Aliran Asy’ariyah mengatakan, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dihukumi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, dan kemudian baru dimasukkan surga, semuanya itu terserah tuhan. 

H. Aliran Maturidiyah
1. Maturidiyah Samarkan
a. Sejarah  Maturidiyah Samarkan
Nama aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid (sebuah kota kecil di daerah Samarkand, termasuk wilayah Uzbekistan, Sovyet) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriyah dan meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333 H. Diantara guru al-Maturidi  adalah Nasr bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H).

Beliau hidup pada masa  pemikiran dan perdebatan keilmuan Islam masih dinamis, walaupun aliran Mu’tazilah sudah mulai redup pamornya, sehingga dalam beberapa hal, pemikiran kalam al-Maturidi ada kemiripan dengan Mu’tazilah, namun sebagian besar mempunyai kesamaan dengan pemikiran kalam al-Asy’ari. Di bidang fikih, ulama Maturidiyah adalah mengikuti madzhab Hanafi. 

Untuk mengetahui corak pemikiran al-Maturidi maka tidak dapat meninggalkan pola pemikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah.  Al-Maturidi dan al-Asy’ari memposisikan diri sebagai kontra pemikiran Mu’tazilah. Dengan posisi ini,  al-Maturidi sangat berjasa   dalam mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah walJama’ah sebagaimananya Imam al-Asy’ari. Abu Masur al-Maturidi termasuk penulis yang produktif. Beliau tidak hanya menulis kitab yang berisi ilmu kalam saja, tetapi juga di bidang ilmu keislaman lainnya,  ada beberapa kitab yang berhasil ditulisnya, diantaranya adalah:
1) Kitab Ta’wilat al-Qur’an at- Ta’wilat Ahl al-Sunnah.(Tafsir)
2) Kitab Ma’khadh al-Syari‘ah.(Usul al-Fiqh) 
3) Kitab al-Jadal.(Tafsir & Kalam Ahl al-Sunnah)
4) Kitab al-Usul (Usul al-Din).
5) Kitab al-Maqalat.
6) Kitab al-Tawhid.
7) Kitab Bayan Wahm al-Mu‘tazilah.
 
b. Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Samarkan
1) Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut al-Maturidi, akal dapat mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat ayat alQur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun  dengan akal sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan).

Pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. Pendapat al-Maturidi tersebut mirip dengan pendapat Mu’tazilah. Hanya perbedaannya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahun Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), tetapi menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.

2) Kebaikan dan keburukan menurut akal
Al-Maturidi mengakui adanya keburukan objektif (yang terdapat pada suatu perbuatan itu sendiri) dan akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian saja. Kebaikan dan keburukan dibagi menjadi tiga. Pertama, yang dapat diketahui kebaikannya melalui akal, kedua yang  tidak diketahui keburukannya oleh akal, dan ketiga yang tidak jelas keburukan dan kebaikannya menurut akal. Kebaikan dan keburukan yang nomor tiga ini, hanya dapat diketahui dengan syara’.
 
Bagi al-Maturidi, meskipun akal sanggup mengetahui suatu kebaikan dan keburukan, namun kewajiban itu hanya dapat diketahui melalui syara’, karena akal semata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif (mengeluarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri. Pendapat al-Maturidi tersebut tidak sesuai dengan pendapat al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan dan keburukan objektif (zati), melainkan kebaikan itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’ dan keburukan itu ada karena larangan syara’, jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan.

3) Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut aliran Asy’ariyah, segala perbuatan Tuhan tidak dapat ditanyakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan, sedang menurut Mu’tazilah sebaliknya, karena menurut mereka Tuhan tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Kelanjutannya ialah bahwa Tuhan harus (wajib) memperbanyak berbuat yang baik dan terbaik (al-ṣalah wal-aṣlah).

Menurut al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam  ciptan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya (taklifi), tetapi perbuatan Tuhan tersebut tidak karena paksaan (dipaksa). Karena itu tidak dapat dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.
 
2. Maturidiyah Bukhara
a. Sejarah  Maturidiyah Bukhara
Pemikiran kalam Matudiyah Bukhara dikembangkan oleh al-Bazdawi. 
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim al-Bazdawi, dilahirkan pada tahun 421 H. Kakek al-Bazdawi yaitu Abdul Karim, hidupnya semasa dengan al-Maturidi dan salah satu murid al- Maturidi. Al-Bazdawi mengkaji pemikiran kalam al-Maturidiyah melalui orang tuanya. Setelah itu belajar kepada  beberapa  ulama seperti: Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al-Naisaburi dan Syekh al-Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga mempelajari filsafat yang ditulis  al Kindi dan pemikiran Mu’tazilah seperti yang ditulis oleh Abdul Jabbar al-Razi, al-Jubba’i, al-Ka’bi, dan al-Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al-Asy’ari dalam kitab al-Mu’jiz. Adapun pemikiran al-Maturidi dipelajarinya lewat kitab al-Tauhid dan kitab Ta’wilah alQur’an.

Al-Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai hakim di Samarkand pada tahun 481 H/1088 M, lalu kembali ke Bukhara dan meninggal di kota tersebut pada tahun 493 H/1099 M. 

b. Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Bukhara
1) Akal dan Wahyu
Menurut al-Bazdawi, akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk saja. Adapun yang menentukan kewajiban tentang perbuatan baik dan buruk adalah Tuhan. Jadi menurut alBazdawi mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui melalui akal, sedangkan kewajiban berterima kasih kapada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk,hanya dapat diketahui melalui wahyu.

2) Sifat-sifat Tuhan
Menurut al-Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat.  Beliau juga menjelaskan bahwa kekekalan sifat-sifat itu melekat dengan esensi Tuhan itu sendiri,  bukan melalui kekekalan sifat-sifat.  Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberikan takwil. Oleh sebab itu, menurut albazdawi, kata istiwa haruslah dipahami dengan “menguasai sesuatu dan memaksanya,” demikian juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata, tangan, bukanlah berarti Tuhan mempunyai anggota badan. 

3) Kalam Allah Swt.
Al-Badzawi berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah kekal tidak  diciptakan. Kalamullah (al-Quran) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara hakikat, tetapi alQur’an dalam bentuk kiasan (majaz).

4) Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi mengatakan bahwa di dalam perwujudan perbuatan  terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Menurutnya, Perbuatan Tuhan  adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya.  Manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan itu. Al-Bazdawi mengambil kesimpulan bahwa perbuatan manusia, sesungguhnya diciptakan Tuhan, tetapi tidaklah perbuatan Tuhan.  

Al-Bazdawi juga  mengatakan bahwa manusia bebas dalam kemauan dan perbuatannya, namun demikian, kebebasan manusia dalam faham ini, kalaupun ada, kecil sekali. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan. 

5) Janji dan Ancaman
Menurut al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa besar ditentukan olah kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang bedosa, maka Tuhan akan memasukkanya bukan  ke dalam neraka, tetapi ke dalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke dalam neraka buat sementara atau buat selama-lamanya.

Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal, tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah).

Aliran Maturidiyah Samarkand dan Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal sebelum bertaubat, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt.  
 
Perbandingan Ajaran Aliran Ilmu Kalam
1. Akal dan Wahyu         
a. Menurut aliran Mu’tazilah 
Pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta kriteria baik dan buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu. Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan, serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu, manusia tetap dapat mengtahuinya yaitu dengan penalaran akalnya, manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum datangnya wahyu.

Wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal. Hanya saja, menurut Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu

b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Imam al-Asy’ari menjelaskan, yang menentukan  menentukan baik dan buru,  kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wahyu. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang menetapkannya.

c. Aliran Maturidiyah
Abu Mansur menjelaskan bahwa akal kal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi yang menetapkannya adalah wahyu. Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan alBazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.

2. Iman dan Kufur
a. Menurut Aliran Khawārij
Khawārij memandang semua yang menerima tahkīm adalah kafir. Bagi aliran Khawārij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, karena perbuatan  merupakan penentu iman. Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.

b. Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma’rifat sama dengan ikrar dan taṣdīq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang kufur adalah mengingkari. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa. 

c. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa, iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Bagi Mu’tazilah, iman tidak hanya ikrar dan taṣdīq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki, yaitu: pengakuan atau ikrar dan taṣdīq. Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak.  Manusia dikataakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki. 

d. Menurut aliran Asy’ariyah 
Aliran Asy’ariyah membedakan antara iman dan islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan taṣdīq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari’at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar. Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan iman atau islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena iman dan islam tidak dapat dipisahkan.

Tentang iman, Imam Asy’ari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk melakukan pelanggaran. 
 

3. Perbuatan Manusia
a. Menurut Aliran Jabariyah
Paham jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka  dalam mengerjakan perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia adalah Tuhan, sehingga paham ini dikenal dengan fatalisme.  Aliran jabariyah memandang manusia  tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya  adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Allah, sebagaimana benda-benda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh Tuhan. 

b. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mempunyai kesamaan dengan pahamqadariyah dalam hal perbuatan manusia, yaitu  manusia sendirilah  yang menentukan  perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad ibn al-Juwaini dan Ghailan alDimasyqi.

Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al-qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi dapat memilih. Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan kewajibannya dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaaan dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif.  Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.

c. Menurut  Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al-Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan). Menurut al-Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatan-perbuatan manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan gerakan refleks dan perbuatan-perbuatan manusia.

d. Menurut  Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand, memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul, Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.

Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak  bersifat wajib (ja’iz).
 
4. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
a. Menurut Aliran Mu’tazilah
 Allah  tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Waṣil bin Aṭo’ berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud. 

Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Dan atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya. 

b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam kekuasaan-Nya terjadi apa yang tidak dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Allah.  Allah  yang menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.

Demikianlah pembahasan tentang Aliran-aliran ilmu Kalam, semoga bermanfaat. Wassalamu Alaikum wr wb.

Sumber :

Buku Akidah Akhlak Direktorat KSKK Madrasah dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI 2019 

SEPATAH KATA DARI SISWA YANG MENINGGALKAN SEKOLAH/ MADRASAH

  Foto Penamatan dan Kelulusan Siswa MAN Pinrang Angk. 2020-2021 Bismillahirrahmanirrahiim Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bap...