TAAT ALLAH TAAT RASULULLAH KUNCI HIDUP BAHAGIA
Taat secara bahasa berarti patuh, setia dan tunduk. Taat yang dimaksud adalah kesetiaan menjunjung serta mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. agar lebih memahami makna taat, mari kita simak al-Qur'an Surah An-Nur 54 berikut:
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Taat yang dimaksud adalah kesetiaan menjunjung serta mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Ketaatan selain kepada Allah dan Rasul-Nya tidaklah mutlak dan bersyarat, yaitu jika tidak bertentangan dengan apa-apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah dan Rasulullah. Hal ini sebagai ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ [4] : 59:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kata perintah taat (Adthi'uu) tercantum sebelum lafaz “Rasul” dan lafaz “Allah”, tetapi tidak tercantum sebelum lafaz “ulil amri. Hal ini menandakan bahwa ketaatan pada ulil ‘amri ini adalah hanya jika tidak bertentangan atau tidak melanggar perintah atau larangan Allah dalam Al-Qur`an dan Rasulullah baik dalam Hadis. Sebaliknya, jika ulil ‘amri ini taat Allah dan Rasulullah maka ketaatan kepada ulil ‘amri adalah wajib.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai makna ulil amri. Ada yang mencoba meluaskan makna ulil amri dengan
semua ulama dan umarā`. Ada yang hanya melihat pada ulama saja (ahlul ‘ilm).
Sejumlah kitab tafsir, khususnya kitab tafsir klasik semisal Tafsīr aṭ-Ṭabarī
dan Rūh al-Ma’ānī, hanya menyebutkan contoh ulil amri adalah jabatan atau
profesi yang dipandang penting pada masanya. Sedangkan, Tafsir al-Marāgi, yang
merupakan kitab tafsir yang ditulis pada abad 20 ini, menyebutkan contoh-contoh
ulil amri itu tidak hanya berkisar pada ahlul ḥalli wal ‘aqdi, ulama, pemimpin;
tetapi juga memasukkan profesi wartawan, buruh, pedagang, juga petani.
Selanjutnya untuk memperkuat pembahasan tentang ketaatan kepada Allah danRasulullah ini, pelajari QS. An-Nisā` [4] : 80 berikut!
Artinya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Perintah atau larangan yang berasal dari Rasulullah dalam perkara-perkara di luar agama hukumnya bukan wajib atau haram. Ketaatan kepada Rasulullah dalah juga merupakan satu bentuk ketaatan kepada Allah. Pada dasarnya, ketaatan kepada Rasulullah ini seharusnya bukanlah berangkat dari al-Qur`an semata, akantetapi hal ini karena sosok beliau yang ideal untuk diteladani. Beliau bergelar al-Amin sejak sebelum menerima risalah, mufassir al-Qur`an, mufti (pemberi fatwa), hakim, khalifah atau pemimpin, suami, bapak dan pribadi atau individu yang akhlaknya yang mulia. Bahkan Allah menegaskan akan kemuliaan akhlak beliau dalam QS. Al-Qalam [68] ayat 4 :
Artinya:
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Setelah al-Qur`an, seorang peneliti barat Michael H. Hart, yang menulis “100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh” pada tahun 1978, menempatkan Rasulullah Muhammad pada peringkat pertama, Nabi Isa menempati peringkat ketiga, sedangkan Isaac Newton peringkat kedua. Rasulullah bukanlah sosok yang otoriter. Beliau menerima pendapat, ide dan masukan para sahabat sesuai dengan kompetensi atau keahlian mereka masingmasing, misalnya di bidang pertanian atau pertahanan. Menurut sejarah, para sahabat bertanya terlebih dahulu apakah perintah atau larangan itu dari Allah atau pendapat Rasulullah sendiri. Jika dari Allah maka mereka menaati tanpa raguragu dan jika ini pendapat Rasulullah pribadi maka para sahabat baru memberikan pendapat-pendapat mereka. Sebagaimana ketika Rasulullah menentukan tempat untuk pertahanan ketika peperangan Badar, beliau menerima ide seorang sahabat yang bernama Sa’d ibn Muaż dan ide Salman Al-fārisī pada saat perang Khandaq.
Contoh lain, pada perundingan Hudaibiyah, sebagian besar sahabat berat hati menerima rincian perjanjian itu. ‘Umar bin Khaṭṭāb secara tegas mempertanyakan mengapa syarat perjanjian itu diterima. Akhirnya semua terdiam dan menerima dengan lapang dada setelah Rasulullah bersabda “Aku adalah utusan Allah“. Demikian para sahabat membedakan kedudukan beliau sebagai rasul dan pribadi.
Ayat ini juga menegaskan agar Rasulullah tidak perlu mengambil tindakan kekerasan atau memaksa orang-orang untuk taat, karena pada hakekatnya beliau diutus bukanlah sebagai penjaga amal-amal perbuatan mereka. Beliau diutus hanya untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan. Sedangkan, imbalan bagi orang-orang yang tidak mau taat adalah terserah kepada Allah, hendak diberi
ganjaran dan ataukah mendapatkan hukuman. Beriman atau tidaknya seseorang bukanlah karena paksaan akan tetapi kesadaran setelah melalui proses berfikir.
Pada hakekatnya, perintah dan larangan Allah adalah wujud kasih sayang-Nya kepada kita. Allah memberi kita perintah karena Allah tahu betul bahwa apa yang diperintahkan-Nya itu bermanfaat bagi manusia. Allah memerintahkan kita shalat, puasa, menolong orang lain, berbuat jujur, menjaga kebersihan jasmani dan ruhani, dan perintah-perintah yang lain karena semua itu dibutuhkan manusia. Semua yang diperintahkan adalah membawa kebaikan, keselamatan, keberuntungan, dan kebahagiaan. Demikian juga larangan-Nya, semata-mata untuk mencegah kita dari kehancuran. Allah melarang kita mendekati zina, berjudi, minum khamr, melakukan korupsi, dan larangan-larangan yang lain karena semua itu akan membawa kehancuran bagi kehidupan manusia.
Sumber:
Buku Tafsir Ilmu Tafsir kelas XI Madrasah Aliyah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Tahun 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar