Bismillahirahmanirrahim...
Assalamu alaikum warahmatulllahi wabarakatuh
Berikut adalah materi Aliran-Aliran dalam Ilmu Kalam
A. Aliran Khawārij
1. Sejarah Khawārij
Istilah Khawārij berasal dari Bahasa Arab “khawārij”, yang berarti mereka yang keluar. Nama ini digunakan untuk memberikan atribut bagi pengikut Ali bin Abi Ṭālib yang keluar dari golongannya dan kemudian membentuk kelompok sendiri. Penamaan terhadap kelompok yang keluar dari pasukan Ali bin Abi Ṭālib bukanlah julukan yang diberikan dari luar kelompoknya saja, tetapi mereka juga menamakan diri dengan sebutan Khawārij dengan pengertian orang-orang yang keluar pergi perang untuk menegakkan kebenaran. Penamaan ini diambilkan dari QS. An-Nisa’ (4): 100.
Artinya:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ [4]: 100.)
Nama lain Khawārij adalah harūriyah yang dinisbahkan kepada perkataan harur, yaitu nama sebuah desa yang terletak di kota Kufah di Irak, dimana kaum Khawārij yang berjumlah 12.000 orang bertempat sesudah memisahkan diri dari pasukan Ali. Disini mereka memilih Abdullāh bin Wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti Ali bin Abi Ṭālib. Rekam jejak kaum Khawārij telah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Saw. dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Saw. pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.” Maka Umar bin Khaṭab ra. berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian dinilai bahwa salat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan salat dan puasa mereka, mereka selalu membaca al-Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya.
Kemudian dilihat rishafnya (tempat asuk nashl pada anak panak) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat dari nadhi-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada ada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah hewan buruan. Ciri-cirinya: di tengah-tengan mereka; ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payu dara wanita atau seperti daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”
Timbul-tenggelamnya Khawārij juga dapat dilacak pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan. Dr. Saleh bin Fauzan al-Fauzan menyatakan: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak di akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan”. Setelah pemerintahan dipegang oleh Ali bin Abi Ṭalib, mereka juga memberontak dengan dalih, pemerintahan Ali telah menyalahi hukum yang dibuat oleh Allah. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Khawārij selalu memberontak kepada pemerintahan yang sah. Hal ini sesuai dengan salah satu doktrin politiknya, yaitu memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jama’ah muslimin merupakan bagian dari agama.
Asy-Syahratsani berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan khariji (seorang khawārij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap al-Khulafa ar-Rasyidin atau kepada pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”
Al-Imam an-Nawawi berkata: “Dinamakan Khawārij dikarenakan keluarnya mereka dari jama’ah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Saw. .: “Akan keluar dari diri orang ini…” (HR. Muslim)
2. Sekte Khawārij dan doktrin ajarannya
a. Al-Muhakkimah
Sekte ini merupakan golongan Khawārij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka lā hukma illā lillāh ( menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah) yang merujuk kepada QS. Al- An’ām (6): 57 berikut:
Artinya:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’ām [6]: 57)
Mereka menolak tahkīm karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah Swt. dalam QS. al-Hujurât (49): 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah Swt.
Artinya:
dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. (QS. Al-Hujurāt [49]: 9)
b. Al-Azariqah
Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke-7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpinnya, yaitu Abi Rasyid Nafi’ bin al-Azraq. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari amirul mukminin. Menurut al-Baghdadi, pengikut Nafi’ berjumlah lebih dari 20.000 orang.
Setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Bahkan pengikut al-Azariqah yang tidak berhijrah ke dalam wilayahnya, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan dan dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka
sebagai dar al-Islām (negara Islam), di luar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai/diperintah oleh orang kafir).
Al-Azariqah mempunyai sikap yang lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir, tetapi istilah musyrik. Di dalam Islam, syirik merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufur. Mereka juga mempunyai doktrin, orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka adalah termasuk orang musyrik. Begitu juga pengikut al-Azariqah yang tidak mau hijrah kedalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.
c. An-Najdah
Pendiri sekte ini adalah Najdâh bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah yang mereka pandang terlalu ekstrem. Paham teologi an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir. Orang seperti ini menurut mereka
akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Pengikut an-Najdâh sendiri tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Bagi mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar bila dikerjakan terus-menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdâh yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.
d. Al-‘Ajaridiyah
Pendiri sekte ini adalah Abdul Karīm bin Ajarad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, doktrin teologi kaum al-Ajaridiyah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti yang diajarkan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita
percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari Al-Qur’an.
e. As-Sufriyah
Nama as-Sufriyah dinisbahkan kepada Ziad bin Ashfār. Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Doktrin teologinya yang penting adalah istilah kufr atau kafir. Istilah kafir itu mengandung dua arti, yaitu kufr an-ni’mah (mengingkari nikmat Tuhan) dan kufr billāh (mengingkari Tuhan). Untuk arti pertama, kafir tidak berarti keluar dari
Islam.
f. Al-Ibadiyah.
Sekte ini dimunculkan oleh Abdullāh bin Ibad al-Murri at-Tamimi pada tahun 686 M. Doktrin teologi yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dikatakan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam).
Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar at-tauhid (daerah yang dikuasai orang–orang Islam), tidak boleh diperangi. Harta yang boleh dirampas dalam perang hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyyah dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran Khawārij.
B. Aliran Syi’ah
1. Sejarah Syi’ah
Syi’ah menurut bahasa berarti sahabat atau pengikut. Dalam kajian ilmu kalam, kata syi’ah lebih spesifik ditujukan kepada orang-orang yang menjadi pengikut atau pendukung Ali bin Abi Ṭālib. Menurut Macdonald, para pendukung Ali ini tidak mau menerima penamaan diri mereka dengan Syi’ah sebagai suatu golongan atau sekte, kaum sunni yang memberi nama Syi’ah kepada mereka itu sebagai suatu ejekan. Tetapi menurut Watt, penamaan Syi’ah terhadap para pendukung dan pengikut Ali itu bukanlah diciptakan oleh lawan-lawan mereka, namun oleh mereka sendiri.
Menurut Asy-Syahratsani, Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut (syaya’u) Ali bin Abi Ṭālib , dan berpendirian bahwa keimaman/kekhalifahan itu berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian (nashwashiyah) baik dilakukan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi atau rahasia, dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali bin Abi Ṭālib.
Munculnya aliran Syi’ah tidak dapat dipisahkan dari tokoh kontroversial yang bernama Abdullāh Ibnu Saba’. Abdullāh Ibnu Saba’ adalah seorang pendeta Yahudi berasal dari Yaman yang pura-pura masuk Islam. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Abdullāh Ibnu Saba’ ini masuk Islam dengan tujuan hendak merusak Islam dari dalam karena mereka tidak sanggup mengacaukan dari luar.
Propaganda yang pertama kali dilancarkan oleh Abdullāh Ibnu Saba’ adalah dengan cara menyebarkan fitnah tehadap Khalifah Utsman bin Affan dan menyanjung-nyanjung Ali bin Abi Ṭālib secara berlebih-lebihan. Propaganda ini mendapatkan sambutan dari sebagian masyarakat Madinah, Mesir, Bashrah, dll. Dia sangat berani membuat hadiś palsu yang bertujuan mengagung-agungkan Ali bin Abi Ṭālib dan merendahkan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, dan Utsman bin Affan. Diantara propaganda Abdullāh Ibnu Saba’ adalah:
a. al-Wishoyah
Arti al-wishoyah adalah wasiat. Nabi Muhammad Saw. berwasiat supaya khalifah (imam) sesudah beliau adalah Ali bin Abi Ṭālib, sehingga beliau diberi gelar al-washiy (orang yang diberi wasiat).
b. Ar-Raj’ah
Arti ar-raj’ah ialah kembali. Ibnu Saba’ menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak boleh kalah dengan Nabi Isa As. Kalau Nabi Isa As. akan kembali pada akhir zaman untuk menegakkan keadilan, maka Nabi Muhammad Saw. lebih patut untuk kembali. Ali bin Abi Ṭālib juga akan kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Ia tidak percaya bahwa Ali bin Abi Ṭālib telah mati terbunuh tetapi masih hidup.
c. Ketuhanan Ali bin Abi Ṭālib
Ibnu Saba’ juga mempropagandakan paham bahwa dalam tubuh Ali bin Abi Ṭālib bersemayam unsur ketuhanan. Oleh karena itu Ali bin Abi Ṭālib mengetahui segala yang gaib , dan selalu menang dalam peperangan melawan orang kafir, suara petir adalah suara Ali bin Abi Ṭālib , dan kilat adalah senyumannya.
2. Sekte-Sekte Syiah Dan Pahamnya
K.H. Sirajuddin Abbas menyebutkan, bahwa Syi’ah itu terpecah belah menjadi 22 golongan, diantaranya adalah:
a. Syi’ah Sabaiyah
Syi’ah ini adalah pengikut Abullah Ibnu Saba’. Sekte ini termasuk syi’ah ghaliyah (syi’ah yang keterlaluan, yang berlebih-lebihan). Disamping mempercayai kembalinya Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Ṭālib di akhir zaman nanti, juga memenyebarkan paham bahwa malaikat Jibril telah keliru dalam menyampaikan wahyu dari Tuhan. Karena sebenarnya wahyu yang seharusnya diturunkan kepada Ali bin Abi Ṭālib tetapi justru diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
b. Syi’ah Kaisaniyah
Syi’ah ini adalah pengikut Mukhtar bin Ubay as-Tsaqafi. Golongan ini tidak mempercayai adanya ruh Tuhan dalam tubuh Ali bin Abi Ṭālib, tetapi mereka meyakini bahwa Imam Syi’ah adalah ma’sum dan mendapatkan wahyu.
c. Syi’ah Imamiyah
Yaitu Syi’ah yang percaya kepada Imam-imam yang ditunjuk langsung oleh nabi Muhammad Saw. yaitu Ali bin Abi Ṭālib sampai 12 orang Imam keturunannya, yaitu:
1) Ali bin Abi Ṭālib (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7) Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10) Ali bin Muhammad (827-868 M), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874 M), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12) Muhammad bin Hasan (868- M), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
d. Syi’ah Isma’iliyah
Yaitu Syi’ah yang mempercayai hanya 7 orang Imam, yaitu mulai Ali bin Abi Ṭālib dan diakhiri Ismail bin Ja’far as-Shaddiq yang lenyap dan akan keluar pada akhir zaman . Sekte Syi’ah Ismailiyah ini berkembang di Pakistan yang merupakan murid Aga Khan. Urutan imam-imam yang dipercaya oleh Syi’ah Isma’iliyah adalah:
1) Ali bin Abi Ṭālib (600-661 M), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-669 M), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680 M), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713 M), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743 M), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703-765 M), juga dikenal dengan Ja'far ashShadiq
7)Ismail bin Ja'far (721-755 M), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
e. Syi’ah Zaidiyah
Yaitu Syi’ah pengikut Imam Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Ṭālib, Syi’ah ini berkembang di Yaman. Sekte ini termasuk yang tidak ghullat. Mereka tidak mengkafirkan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaṭab, Utsman bin Affan, walaupun berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Ṭālib lebih mulia dari ketiganya. Mengenai pelaku dosa besar, mereka berkeyakinan apabila mati sebelum taubat maka akan masuk neraka selama-lamanya.
f. Syi’ah Qaramithah
Yaitu kaum Syi’ah yang suka menafsirkan al-Qur’an sesuka hatinya. Mereka mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah muballigh mereka dan setan-setan adalah musuh mereka, sembahyang adalah mengikuti mereka, haji adalah ziarah kepada imam-imam mereka. Orang yang sudah mengetahui sedalam-dalamnya Allah, tidak perlu sembahyang, puasa, dll.
C. Aliran Murji’ah
1. Sejarah Murji’ah
Kata murji’ah berasal dari bahasa Arab arja’a yang artinya menunda. Aliran ini disebut Murji’ah karena mereka menunda menghukumi persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Ṭālib, Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān, dan Khawārij sampai pada hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah diantara ketiga golongan tersebut.
Murji’ah adalah salah satu aliran kalam yang muncul pada abad pertama hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahratsani menyebutkan dalam bukunya al-Milal wa an-Nihal, bahwa orang yang pertama membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Diantara tokoh Murji’ah yang muncul pada abad pertama hijriyah adalah: Abu Hasan ash-Sholihi, Yunus bin an-Namiri, Ubaid al-Muktaib, Bisyar al-Marisi, Muhammad bin Karam. Aliran ini muncul sebagai reaksi dari beberapa paham yang ada pada saat itu, misalnya:
a. Pendapat Syi’ah yang menyalahkan bahkan mengkafirkan orang-orang yang dianggap merebut jabatan khalifah Ali bin Abi Ṭālib .
b. Pendapat Khawārij yang menghukum kafir Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dan pendukungnya, karena merebut kekuasaan yang sah yaitu Ali bin Abi Ṭālib, begitu juga mengkafirkan Ali bin Abi Ṭālib dan pendukungnya karena menerima Tahkīm dalam perang siffin.
c. Pendapat pengikut Mu’awiyah yang menganggap bahwa Ali bin Abi Ṭālib terlibat dalam konspirasi pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
d. Pendapat sebagian pengikut Ali bin Abi Ṭālib yang beranggapan bahwa Siti ‘Aisyah, Thalhah, Zubair dan siapapun yang terlibat dalam perang jamal adalah salah.
Pada awalnya kaum Murji’ah hanya terlibat dalam perdebatan di bidang siasah, politik dan khilafah saja, tetapi dalam perkembangannya juga terlibat dalam bidang teologi Islam.
Tokoh-tokoh lain yang lahir pada masa itu adalah: Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Samman (w. 152 H), Tsaubah, Dhirar, bin Umar. Sedangkan penyair Murji’ah yang terkenal pada masa Daulah Umayyah adalah Tsabit bin Quthanah.
2. Sekte-Sekte Murji’ah Dan Pahamnya
a. Murji’ah Moderat
Asy-Syahrasyani menyebutkan beberapa tokoh yang termasuk dalam golongan Murji’ah moderat yaitu: al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Ṭālib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadiś. Golongan ini berpendapat, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir, dan tidak kekal di dalam neraka, tetapi akan dihukum di neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Bisa jadi orang yang melakukan dosa besar itu bertobat, dan tobatnya diterima Allah. Sehingga hukum orang mukmin yang melakukan dosa besar, ditunggu pada putusan akhir Allah di akhirat kelak.
b. Murji’ah Ekstrim
Yang termasuk Murji’ah ekstrim adalah: al-Jahmiah (pengikut Jaham bin Shafwan), al-Salihiyah (pengikut Abu al-Hasan al-Salihi), al-Yunusiyah, alKhassaniyah.
Al-Jahmiyah berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan, dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya di hati, dan apabila mati tetap menyandang predikat mukmin yang sempurna. Al-Salihiyah berpendapat, iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepadanya, dalam arti mengetahui Tuhan.
Al-Yunusiah berpendapat, melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat, tidaklah merusak iman seseorang. Demikian juga Golongan al-Ubaidiyah. Muqatil bin Sulaiman mengatakan, bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan orang musyrik atau polytheist.
Al-Khasaniyah berpendapat, jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Dan jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau di tempat lain”, orang yang demikian itu juga tetap mukmin.
Ajaran yang demikian itu oleh Harun Nasution dianggap berbahaya, karena akan membawa kepada moral atitude, yaitu sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, yaitu masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Inilah kelihatannya yang menjadi sebab nama Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti buruk sehingga tidak diikuti oleh masyarakat.
D. Aliran Jabariyah
1. Sejarah Jabariyah
Aliran ini mauncul dari sikap yang skeptis terhadap situasi politik pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān. Perasaan tidak berdaya itu kemudian dirumuskan dalam pemikiran teologi, bahwa semua perbuatan manusia merupakan wujud kehendak Allah. Doktrin teologi yang demikian itu sangat menguntungkan Mu’awiyah yang saat itu sedang memegang kekuaaan, sehingga pemikiran keagamaan ini dipolitisasi oleh Mu’awiyah untuk melegitimasi aksi politiknya. Paham Jabariyah ini, pertama kali dilontarkan oleh Ja’ad bin Dirham, yang selanjutnya dikembangkan oleh Jaham bin Shafwan (w. 131 H). Oleh sebab itu,
aliran ini sering juga disebut aliran Jahamiyah.
2. Doktrin Ajaran Jabariyah
Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata, sehingga aliran ini dikatakan fatalism atau predestination. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya.
E. Aliran Qadariyah
1. Sejarah Qadariyah
Persoalan politik adalah latar belakang utama yang memicu munculnya Aliran Qadariyah. Sebagaimana diketahui, bahwa Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān sangat gencar mendelegitimasi pemerintahan Ali bin Abi Ṭālib. Bahkan setelah Ali bin Abi Ṭālib meninggal, Mu’awiyah menggunakan berbagai cara untuk melemahkan pengaruh keluarga Ali bin Abi Ṭālib. Mendiang Ali bin Abi Ṭālib dicaci-maki dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat khutbah Jum’at.
Para ulama yang saleh banyak yang tidak setuju dengan gaya politik Mu’awiyah, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembangkan doktrin bahwa semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan nasipnya sendiri. Paham teologi ini dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk melanggengkan kekuasannnya. Dalam suasana ini muncul Ma’bad al-Jauhani (w. 80 H) dan Ghailan ad-Dimasyqy dan melontarkan kritik kepada Mu’awiyah bin Abi Ṣufyān dengan pendekatan teologis, yang kemudian dikenal dengan paham Qadariyah.
2. Doktrin Ajaran Qadariyah
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan keẓaliman. Manusia diberi daya oleh Allah dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan sehingga dinamakan aliran free will and free act. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila manusia melakukan perbuatan baik, maka dia akan memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhirat. Sedang mereka yang perbuatan buruk, akan memperoleh siksa di neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan melihat keẓaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan keẓaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Doktrin ajaran Ma’bad dan Ghailan yang mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka paham nya dinamakan paham “Qadariyah”.
Ghailan al-Dimasyqi terus menyebarkan paham Qadariyah dengan melontarkan kritik terhadap Bani Umayyah, sehingga sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mati pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul al-Malik (105-125 H). Sebelum dijatuhi hukuman mati, diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza’i yang dihadiri oleh Hisyam bin Abdul Malik tentang otoritas manusia dalam menciptakan perbuatan. Bagi Ghailan, kemampuan berbuat yang diberikan oleh Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri untuk digunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk al-Qur’an dan alSunnah,
maka mereka akan memperoleh kebahagian. Dan sebaliknya, kalau mereka gunakan untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan konsep keadilan Tuhan. Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Kahfi (18): 29 yang berbunyi:
Artinya:
“Barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang beriman) maka berimanlah, dan barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
F. Aliran Mu’tazilah
1. Sejarah Mu’tazilah
Lahirnya aliran Mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiranpemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Waṣil bin Aṭo’ (salah seorang murid Hasan al-Baṣri) di Bashrah, atas pemikiran yang dilontarkan Khawārij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan al Baṣri bertanya tentang tanggapan Waṣil terhadap pemikiran Khawārij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir.
Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir, yaitu orang fasik. Kemudian Waṣil memisahkan diri dari jamaah Hasan al-Baṣri, dan gurunya itu secara spontan berkata “i’tazala ‘anna” (Waṣil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Waṣil menjadi sebuah aliran yang oleh anggota jamaah Hasan al-Baṣri dinamai dengan “Mu’tazilah”. Corak pemikiran kalam
Mu’tazilah lebih cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini terkenal dengan aliran kalam rasional. Mereka menamakan dirinya sebagai ahlu at-tauhid (menjaga keesaan Allah) dan ahlu al-‘adl (mempercayai dan menyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan.
Aliran Mu’tazilah sempat dijadikan sebagai aliran resmi pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah yaitu pada masa pemerintahan al-Makmun (198-218 H), al-Mu’tashim (218-227 H) dan al-Watsiq (227-232 H) dan berakhir pada masa al-Mutawakil (234 H), sehingga pengaruh aliran Mu’tazilah menjadi lemah dan diganti dengan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah.
2. Pokok ajaran Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah dituangkan dalam al-Ushul al Khamsah (lima dasar ajaran), yaitu:
(1) al-Tauhīd (keesaan Allah), (2) al-‘adlu (keadilan Allah), (3) al-wa’du wa al-wa’id
(janji dan ancaman), (4) al-manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara dua
posisi), dan (5) amar ma’ruf nahi munka (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar).
a. Tauhīd (Ke-Esaan Allah Swt.)
1) Mengingkari sifat-sifat Allah Swt., menurut Kaum Mu’tazilah apa yang dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
2) Al-Qur’an menurutnya adalah makhluk (baru);
3) Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indera manusia, karena
Allah tidak akan terjangkau oleh indera mata.
b. Keadilan Allah Swt.
Doktrin teologi Mu’tazilah yang berkaitan dengan keadilan adalah:
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan laranganlarangan-Nya
dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikankebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang dilarang-Nya. Allah akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. Apabila berbuat baik maka akan diberi balasan pahala dan sebaliknya apabila berbuat buruk maka akan mendapatkan dosa dan siksa. Itulah yang dianggap adil oleh Mu’tazilah, karena manusia mempunyai akal untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum berbuat. Dan perbuatan manusia itu murni dari manusia itu sendiri, karena Allah tidak campur tangan dalam perbuatan manusia.
c. Janji dan ancaman
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah Swt. tidak akan mengingkari janjiNya, memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan azab kepada yang berbuat dosa. Manusia dengan kemampuan akalnya dapat memilih berbuat baik atau buruk. Apabila berbuat baik maka akan dimasukkan surga, dan sebaliknya yang berbuat buruk akan di siksa di neraka selama-lamanya.
d. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Waṣil bin Aṭo’ memisahkan diri dari majlis Hasan al- Baṣri. Menurut pendapatnya, seseorang muslim yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin, tetapi juga tidak kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan diatas orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati atas dosanya maka tidak dihukumi mukmin, juga bukan kafir, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, tetapi hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni oleh
orang-orang kafir.
e. Amar makruf dan nahi mungkar
Doktrin Mu’tazilah tentang amar makruf dan nahi mungkar pada awalnya mempunyai kesamaan dengan doktrin Ahlussunnah, yaitu bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak kebaikan dan menghindari kemungkaran. Namun, dalam perkembangannya digunakan untuk memaksa kepada pihak yang tidak sepaham dengan teologi Mu’tazilah untuk menerimanya. Para ulama yang dicurigai tidak sependapat dengan Mu’tazilah dinterogasi dan dipaksa untuk menerima pandangan teologinya, khususnya tentang kemakhlukan Kalamullah
(al-Qur’an). Inilah yang dinamakan mihnah.
Para pejabat dan ulama yang tidak mau mengakui kemakhlukan al-Qur’an akan dipenjarakan dan disiksa, bahkan ada yang meninggal. Alasannya adalah bahwa orang yang tidak mengakui Kalamullah itu makhluk, maka dihukumi musyrik. Diantara Ulama yang menjadi korban mihnah adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang disiksa di penjara karena tidak mengakui kemakhlukan al-Qur’an.
G. Aliran Asy’ariyah
1. Sejarah Asy’ariyah
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy’ari mengawali belajar ilmu kalam dari ayah tirinya yang bernama Ali al-Jubbai yang beraqidah Mu’tazilah. Dengan demikian maka al-Asy’ari mempunyai paham yang sama dengan gurunya, yaitu Mu’tazilah. Aliran ini diyakininya sampai berusia 40 tahun. Beliau mempelajari aliran Mu’tazilah dengan serius dan mendalaminya, hingga sampai suatu saat terjadilah dialog/debat yang serius antara alAsy’ari dengan al-Jubba’i. Al-Asy’ari mengajukan pertanyaan kepada gurunya tentang kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil. Berikut dialognya:
Al-Asy’ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat nanti?
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tempat yang baik di surge, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terbebas dari bahaya neraka.
Al-Asy’ari : Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surge,
mungkinkan itu?
Al-Jubba’i : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan, sedangkan anak kecil belum melaksanakan kepatuhan itu.
Al-Asy’ari : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau beri kesempatan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “Aku tahu, bahwa jika engkau terus hidup maka akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hokum. Maka untuk kebaikanmu/kepentinganmu, Aku mencabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur tanggung jawab/baligh.
Al-Asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya anak kecil, apa Sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?
Sampai pada akhir dialog tersebut, al-Jubba’i terdiam dan tidak dapat menjawab pertanyaan al-Asy’ari, sehingga al-Asy’ari merasa tidak puas dan mulai meragukan doktrin ajaran Mu’tazilah. Dari keraguan itulah, maka al-Asy’ari munajat untuk memohon petunjuk kepada Allah Swt. dan tidak keluar dari rumah selama 15 hari. Setelah hari ke-15 kemudian ia pergi ke masjid Bashrah untuk mengumumkan keteguhannya dalam meninggalkan aliran Mu’tazilah. Di samping alasan tersebut. al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena sikap Mu’tazilah yang lebih mementingkan pendekatan akal dari pada menggunakan al-Qur’an dan hadiś. Untuk itu, al-Asy’ari mulai mengembangkan ajaran teologinya dengan mendahulukan dalil naqli (al-Qur’an dan al-hadiś) dan membatasi penggunaan logika filsafat.
Corak pemikiran kalam Abu Hasan al-Asy’ari yang demikian itu menjadi mudah dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga memperoleh pengikut serta pendukung yang banyak. Imam Abu Hasan al-Asy’ari berjuang melawan kaum Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum Mu’tazilah di mana-mana, sehingga nama beliau masyhur sebagai Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan paham Mu’tazilah.
Aliran teologinya disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah karena lebih banyak menggunakan al-Sunnah dalam merumuskan doktrin kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal-jama’ah) dari kalangan masyarakat, karena kesulitan mengikuti pemikiran kalam aliran Mu’tazilah yang menggunakan corak pemikiran filsafat yang rumit. Pemikiran aliran Asy’ariyah kemudian dikembangkan oleh generasi penerusnya, yaitu Imam al-Ghazali (450-505 H/ 10581111 M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210 M), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418 H/1027 M), Abu Bakar al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M).
2. Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah
a. Sifat Tuhan
Pandangan al-Asy’ari tentang sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara Mu’tazilah dan Mujassimah. Mu’tazilah tidak mengakui sifat wujud, qidam, baqa’ dan wahdaniah (ke-Esaan) dan sifat-sifat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain. Golongan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Allah sesuai dengan Zat Allah sendiri namun sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar, Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
b. Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat al-Asy’ari dalam soal ini juga di tengah-tengah antara Jabariyah dan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa karena memperoleh (kasb) dari Allah.
c. Keadilan Tuhan
Menurut Al-Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
d. Melihat Tuhan di akhirat
Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti, walaupun di surga. Paham ini berlawanan dengan paham Asy’ariyah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surga oleh hamba-hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup di dunia, Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Qiyāmah (75) : 22-23 sebagai berikut:َ
Artinya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al-Qiyāmah [75] : 22-23)
Berdasarkan ayat tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa ketika orang mukmin dimasukkan ke surga, maka wajah mereka berseri-seri karena kegembiraannya. Dan kegembiraan yang paling tinggi adalah ketika mereka melihat Tuhan. Secara akliyah, setiap yang ada/wujud dapat dilihat, Tuhan itu ada maka bisa dilihat. Adapun tentang bagaimana cara-caranya penghuni surga melihat Tuhan, maka diserahkan kepada Tuhan.
e. Dosa besar
Aliran Asy’ariyah mengatakan, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dihukumi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, dan kemudian baru dimasukkan surga, semuanya itu terserah tuhan.
H. Aliran Maturidiyah
1. Maturidiyah Samarkan
a. Sejarah Maturidiyah Samarkan
Nama aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid (sebuah kota kecil di daerah Samarkand, termasuk wilayah Uzbekistan, Sovyet) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijriyah dan meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333 H. Diantara guru al-Maturidi adalah Nasr bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H).
Beliau hidup pada masa pemikiran dan perdebatan keilmuan Islam masih dinamis, walaupun aliran Mu’tazilah sudah mulai redup pamornya, sehingga dalam beberapa hal, pemikiran kalam al-Maturidi ada kemiripan dengan Mu’tazilah, namun sebagian besar mempunyai kesamaan dengan pemikiran kalam al-Asy’ari. Di bidang fikih, ulama Maturidiyah adalah mengikuti madzhab Hanafi.
Untuk mengetahui corak pemikiran al-Maturidi maka tidak dapat meninggalkan pola pemikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah. Al-Maturidi dan al-Asy’ari memposisikan diri sebagai kontra pemikiran Mu’tazilah. Dengan posisi ini, al-Maturidi sangat berjasa dalam mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah walJama’ah sebagaimananya Imam al-Asy’ari. Abu Masur al-Maturidi termasuk penulis yang produktif. Beliau tidak hanya menulis kitab yang berisi ilmu kalam saja, tetapi juga di bidang ilmu keislaman lainnya, ada beberapa kitab yang berhasil ditulisnya, diantaranya adalah:
1) Kitab Ta’wilat al-Qur’an at- Ta’wilat Ahl al-Sunnah.(Tafsir)
2) Kitab Ma’khadh al-Syari‘ah.(Usul al-Fiqh)
3) Kitab al-Jadal.(Tafsir & Kalam Ahl al-Sunnah)
4) Kitab al-Usul (Usul al-Din).
5) Kitab al-Maqalat.
6) Kitab al-Tawhid.
7) Kitab Bayan Wahm al-Mu‘tazilah.
b. Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Samarkan
1) Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut al-Maturidi, akal dapat mengetahui kewajiban untuk mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat ayat alQur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan tetapi meskipun dengan akal sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-perintah Tuhan).
Pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. Pendapat al-Maturidi tersebut mirip dengan pendapat Mu’tazilah. Hanya perbedaannya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahun Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), tetapi menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.
2) Kebaikan dan keburukan menurut akal
Al-Maturidi mengakui adanya keburukan objektif (yang terdapat pada suatu perbuatan itu sendiri) dan akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian saja. Kebaikan dan keburukan dibagi menjadi tiga. Pertama, yang dapat diketahui kebaikannya melalui akal, kedua yang tidak diketahui keburukannya oleh akal, dan ketiga yang tidak jelas keburukan dan kebaikannya menurut akal. Kebaikan dan keburukan yang nomor tiga ini, hanya dapat diketahui dengan syara’.
Bagi al-Maturidi, meskipun akal sanggup mengetahui suatu kebaikan dan keburukan, namun kewajiban itu hanya dapat diketahui melalui syara’, karena akal semata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif (mengeluarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri. Pendapat al-Maturidi tersebut tidak sesuai dengan pendapat al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan dan keburukan objektif (zati), melainkan kebaikan itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’ dan keburukan itu ada karena larangan syara’, jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan.
3) Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut aliran Asy’ariyah, segala perbuatan Tuhan tidak dapat ditanyakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan, sedang menurut Mu’tazilah sebaliknya, karena menurut mereka Tuhan tidak mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Kelanjutannya ialah bahwa Tuhan harus (wajib) memperbanyak berbuat yang baik dan terbaik (al-ṣalah wal-aṣlah).
Menurut al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptan-Nya maupun dalam perintah dan larangan-larangan-Nya (taklifi), tetapi perbuatan Tuhan tersebut tidak karena paksaan (dipaksa). Karena itu tidak dapat dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-Nya.
2. Maturidiyah Bukhara
a. Sejarah Maturidiyah Bukhara
Pemikiran kalam Matudiyah Bukhara dikembangkan oleh al-Bazdawi.
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin Abdul Karim al-Bazdawi, dilahirkan pada tahun 421 H. Kakek al-Bazdawi yaitu Abdul Karim, hidupnya semasa dengan al-Maturidi dan salah satu murid al- Maturidi. Al-Bazdawi mengkaji pemikiran kalam al-Maturidiyah melalui orang tuanya. Setelah itu belajar kepada beberapa ulama seperti: Ya’kub bin Yusuf bin Muhammad al-Naisaburi dan Syekh al-Imam Abu Khatib. Di samping itu, ia juga mempelajari filsafat yang ditulis al Kindi dan pemikiran Mu’tazilah seperti yang ditulis oleh Abdul Jabbar al-Razi, al-Jubba’i, al-Ka’bi, dan al-Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al-Asy’ari dalam kitab al-Mu’jiz. Adapun pemikiran al-Maturidi dipelajarinya lewat kitab al-Tauhid dan kitab Ta’wilah alQur’an.
Al-Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H/1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai hakim di Samarkand pada tahun 481 H/1088 M, lalu kembali ke Bukhara dan meninggal di kota tersebut pada tahun 493 H/1099 M.
b. Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Bukhara
1) Akal dan Wahyu
Menurut al-Bazdawi, akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk saja. Adapun yang menentukan kewajiban tentang perbuatan baik dan buruk adalah Tuhan. Jadi menurut alBazdawi mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui melalui akal, sedangkan kewajiban berterima kasih kapada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk,hanya dapat diketahui melalui wahyu.
2) Sifat-sifat Tuhan
Menurut al-Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Beliau juga menjelaskan bahwa kekekalan sifat-sifat itu melekat dengan esensi Tuhan itu sendiri, bukan melalui kekekalan sifat-sifat. Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberikan takwil. Oleh sebab itu, menurut albazdawi, kata istiwa haruslah dipahami dengan “menguasai sesuatu dan memaksanya,” demikian juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata, tangan, bukanlah berarti Tuhan mempunyai anggota badan.
3) Kalam Allah Swt.
Al-Badzawi berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Kalamullah (al-Quran) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara hakikat, tetapi alQur’an dalam bentuk kiasan (majaz).
4) Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi mengatakan bahwa di dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Menurutnya, Perbuatan Tuhan adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan itu. Al-Bazdawi mengambil kesimpulan bahwa perbuatan manusia, sesungguhnya diciptakan Tuhan, tetapi tidaklah perbuatan Tuhan.
Al-Bazdawi juga mengatakan bahwa manusia bebas dalam kemauan dan perbuatannya, namun demikian, kebebasan manusia dalam faham ini, kalaupun ada, kecil sekali. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan.
5) Janji dan Ancaman
Menurut al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa besar ditentukan olah kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang bedosa, maka Tuhan akan memasukkanya bukan ke dalam neraka, tetapi ke dalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke dalam neraka buat sementara atau buat selama-lamanya.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal, tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah).
Aliran Maturidiyah Samarkand dan Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal sebelum bertaubat, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt.
Perbandingan Ajaran Aliran Ilmu Kalam
1. Akal dan Wahyu
a. Menurut aliran Mu’tazilah
Pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta kriteria baik dan buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu. Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan, serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu, manusia tetap dapat mengtahuinya yaitu dengan penalaran akalnya, manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum datangnya wahyu.
Wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal. Hanya saja, menurut Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu
b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Imam al-Asy’ari menjelaskan, yang menentukan menentukan baik dan buru, kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wahyu. Akal tidak berperan dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang menetapkannya.
c. Aliran Maturidiyah
Abu Mansur menjelaskan bahwa akal kal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi yang menetapkannya adalah wahyu. Begitu pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan alBazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.
2. Iman dan Kufur
a. Menurut Aliran Khawārij
Khawārij memandang semua yang menerima tahkīm adalah kafir. Bagi aliran Khawārij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan perbuatan, karena perbuatan merupakan penentu iman. Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
b. Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma’rifat sama dengan ikrar dan taṣdīq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang kufur adalah mengingkari. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa.
c. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengemukakan bahwa, iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Bagi Mu’tazilah, iman tidak hanya ikrar dan taṣdīq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki, yaitu: pengakuan atau ikrar dan taṣdīq. Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak. Manusia dikataakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.
d. Menurut aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah membedakan antara iman dan islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan taṣdīq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syari’at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan dosa besar. Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman tidak cukup dengan iman atau islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan, karena iman dan islam tidak dapat dipisahkan.
Tentang iman, Imam Asy’ari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk melakukan pelanggaran.
3. Perbuatan Manusia
a. Menurut Aliran Jabariyah
Paham jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dalam mengerjakan perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia adalah Tuhan, sehingga paham ini dikenal dengan fatalisme. Aliran jabariyah memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan Allah, sebagaimana benda-benda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh Tuhan.
b. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mempunyai kesamaan dengan pahamqadariyah dalam hal perbuatan manusia, yaitu manusia sendirilah yang menentukan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh Ma’bad ibn al-Juwaini dan Ghailan alDimasyqi.
Keduanya merupakan orang yang paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al-qadr, yaitu kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan tetapi dapat memilih. Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat kaitannya dengan kewajibannya dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaaan dan pahala tidak relevan kalau manusia tidak aktif. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan perbuatan manusia.
c. Menurut Aliran Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al-Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan). Menurut al-Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatan-perbuatan manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup perbuatan-perbuatan gerakan refleks dan perbuatan-perbuatan manusia.
d. Menurut Aliran Maturidiyah
Maturidiyah Samarkand, memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman rasul, Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah orang yang telah berbuat kebaikan. Tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, tidak bersifat wajib (ja’iz).
4. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
a. Menurut Aliran Mu’tazilah
Allah tidak berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Waṣil bin Aṭo’ berpendapat bahwa manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka keadilan Tuhan terwujud.
Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan Allah. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya. Dan atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dan ancamannya.
b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak. Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam kekuasaan-Nya terjadi apa yang tidak dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah mustahil bagi Allah. Allah yang menghendaki segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.
Demikianlah pembahasan tentang Aliran-aliran ilmu Kalam, semoga bermanfaat. Wassalamu Alaikum wr wb.
Sumber :
Buku Akidah Akhlak Direktorat KSKK Madrasah dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar