BAGIAN PERTAMA
PENDAHULUAN
Lihatlah matahari ! ia
mempunyai cahaya yang begitu kuat sehingga selain dapat menerangi dirinya, ia
juga dapat menerangi sekitarnya. Setiap manusia dapat menjadi cahaya jika
mengaktifkan seluruh potensinya
(Bambang Q-Anees)
Keberadaan alam semesta ini diciptakan oleh sang pencipta sebagai tempat
persinggahan menuju tempat yang kekal abadi. Di Alam ini, Allah menciptakan
berbagai macam hal, berbagai macam makhluk baik yang tak dapat diinderai (tak
terlihat) maupun yang dapat diinderai (terlihat) termasuk salah satunya adalah
penciptaan manusia. Berbicara tentang manusia adalah sesuatu hal yang sangat
menarik, karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti
tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan
yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia. Manusia
merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi,
serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi yang agung dan dalam ilmu
geografi disebut dengan sumber daya manusia (SDM) yang berarti segala potensi
dan kemampuan yang ada dalam diri manusia yang dapat dimanfaatkan bagi
kepentingan dan kelangsungan hidup manusia.
Kelebihan dan
kemulian manusia, terkait dengan standar ilmiah penciptaan manusia, baik fisik
maupun nonfisik seperti akal dan hati, tanpa kehilangan syahwat dan nafsu
hewaninya. Kelebihan-kelebihan
yang Allah berikan kepada manusia itu secara sempurna, berbeda atas
makhluk-makhluk lainnya yang tidak diberikan kelebihan secara utuh. Firman
Allah swt dalam
QS. Al-Isrâ [17]: 70.menjelaskan.
Artinya:
Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.
Kajian tentang diri manusia itu sendiri, telah lama dilakukan sejak zaman
dahulu kala seperti yang pernah dilakukan oleh para ahli filsafat Yunani kuno yaitu
Socrates (470-399 SM), Socrates membagi manusia menjadi tiga tipe, yaitu
manusia akal budi (reason), manusia
semangat (spirit), manusia nafsu (desire). Kedua tipe terakhir (manusia
semangat dan manusia nafsu) akan mengalami keterarahan jika dikontrol oleh akal
budi (reason). Pembagian manusia yang
dilakukan oleh Socrates ini berdasarkan atas aspek bagaimana cara manusia
menjalani dan menemukan tujuan hidupnya. Kemudian kajian tentang manusia yang
telah dilakukan oleh Plato (429-347 SM). Menurut Plato, manusia pada awalnya
adalah Ruh murni yang hidup dari kontemplasi (merenung dan berpikir) akan yang
idea dan yang Ilahi, dimana manusia mula-mula kehidupannya yang berkaitan erat dengan kebenaran dan
keindahan. Kebenaran dan keindahan tersebut mulai terlupakan ketika jiwa murni
terpenjara oleh tubuh (jasmani), sehingga manusia menjadi dualitas yang terdiri
dari jiwa dan jasmani. Plato adalah salah satu murid dari Socrates yang
terkenal hingga saat ini dengan konsep idea-nya yang berdasarkan hasil
pemikiran akal semata (Rasionalisme), sehingga muncul konsep “Aku berpikir,
maka aku ada.”
Kemudian ulama yang terkenal pada abad pertengahan yaitu Syaik Abdul Qadir
al-Jailani memandang keberadaan manusia dapat dilihat dari dua sudut pandang,
jiwa dan raga. Dari sisi raga semua manusia pada umumnya sama, semua orang
memiliki ciri-ciri khas yang sama. dari sisi jiwa, yang tersembunyi dalam raga
semua orang berbeda-beda.
Charles Darwin (1859) dengan teori evolusinya yang mengguncangkan dunia
ilmu pengetahuan, dalam bukunya yang berjudul “On The Origin of Species by Means of Natural Selection” Darwin
mengatakan bahwa semua makhluk hidup di bumi berasal dari nenek moyang yang
sama dan mengalami modifikasi, atau teori ini menyatakan bahwa bahwa speasis
bukanlah sesuatu yang tetap atau kekal, melainkan berevolusi dari berbagai
spesies yang telah ada (termasuk
manusia). Teori evolusi yang dicetuskan Darwin merupakan hasil analisis data
yang didapat dari proses observasinya selama keikutsertaannya beberapa
ekspedisi. Menurut Darwin lagi, manusia itu adalah bentuk akhir dari evolusi
kehidupan, sedangkan hewan bersel satu adalah bentuk awal dari evolusi dan
menempatkan manusia dalam alam hewan.
Kesalahan penafsiran teori Darwin menimbulkan anggapan bahwa seakan-akan
nenek moyang manusia berasal dari monyet atau kera yang telah mengalami evolusi
karena seleksi alam, kemiripin manusia,
dan monyet baik secara morfologis maupun fisiologis. Sementara adaptasi
merupakan penyebab dari seleksi alam tersebut. Padahal dalam Islam sendiri
diketahui melalui al-Qur’an, bahwa nenek moyang manusia adalah Adam as.,
sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya.
Artinya:

Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Khalifah yang dimaksud dalam QS. Al-Baqarah [02]:
30. di atas itu tentunya adalah
para manusia, dan manusia pertama yang diberi kesempatan menjadi khalifah di
muka bumi ini adalah nabi Adam as., dan kemudian dianjutkan oleh anak cucunya.
Telah banyak ilmuan masa kini yang menolak teori evolusi milik Charles Darwin
diantarnya adalah Norman Macbeth, Michael Denton, Robert Saphiro, Michaeel J.
Behe, Elaine Morgan. Bahkan seorang penulis Turki bernama Harun Yahya menolak
terhadap mekanisme yang menyebabkan terjadinya proses evolusi. Menurutnya,
tidak pernah dikemukakan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa seleksi alam telah
menyebabkan makhluk hidup berevolusi.
Seleksi alam hanya menyatakan bahwa makhluk hidup yang lebih mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi alam habitatnya akan mendominasi dengan cara
memiliki keturunan yang mampu pernah bertahan hidup. Sebaliknya, yang tidak
mampu akan punah.
Kita kembali pada pembahasan manusia, di masa modern banyak para pakar dan
aliran dengan ciri khas masing-masing yang mendefiniskan manusia berdasarkan
bidang yang mereka ditekuni salah satunya yakni dalam ilmu psikologi, diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo valens yang berarti manusia berkeinginan atau mempunyai
keinginan. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku
hasil interaksi antara kompenan biologis (id), psikologis (ego), social (superego), di dalam diri manusia terdapat unsur animal (hewani), rasional, (akali), dan moral (nilai).
2. Sedangkan para penganut teori behaviorisme menyebut manusia
sebagai homo mechanicus (manusia
mesin). Menurut aliran Behaviorisme
segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran
terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek rasional dan emosional.
3. Menurut paham aliran kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Lebih lanjut lagi teori aliran kognitis berpendapat bahwa manusia tidak
dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, tetapi
sebagai mahkluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya, makhluk yang
selalu berpikir. Penganut teori kognitif
mengamcam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena
tampak tidak mempengaruhi perstiwa.
4. Kemudian, menurut para penganut aliran teori humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens (manusia bermain). Menurut
aliran ini manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan
mengaktualisasikan diri.
Perdebatan para ahli atau ilmuwan modern dan alirannya terus berlanjut
serta berlangsung namun tidak mememukan titik temu dan kesepakan yang pasti
tentang diri manusia.
Dalam literatur,
khususnya di bidang antropologi dijumpai berbagai pandangan para ahli tentang
hakikat manusia. Sastraprateja, misalnya mengatakan bahwa manusia adalah mahluk
yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata
datum. Hakikat manusia yang dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah
perjalanan bangsa manusia,. Sastrapateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa
yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu
rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan
orientasi yang tetap dimiliki manusia. Lebih lanjut, beliau menambahkan ada
sekurang-kurangnya enam anthropological constants yang dapat
ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu; (a) relasi manusia dengan
kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (b) keterlibatan dengan sesama; (c)
keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (d) ketergantungan
masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (e) hubungan timbal balik
antara teori dan praktis; (f) kesadaran religius dan para religious. Ke-enam anthropological
constants merupakan satu sintensis dan masing-masing berpengaruh.
Pendapat tersebut lebih menitikberatkan pada pandangan empirisme (berdasarkan
pengalaman terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang
telah dilakukan).
Kemudian, bagaimanakah manusia menurut pandangan dari beberapa agama yang
ada? untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka akan penulis paparkan hanya
beberapa agama saja dan sesuai dengan buku “Dienul
Islam” karya Nasruddin Razak sebagai berikut:
1. Agama Hindu memandang
manusia di dunia ini ditakdirkan lahir menurut kasta-kasta tertentu dan seluruh
kehidupannya diperintah oleh kehidupan yang kaku. Menurut kitab Rigweda
disebutkan bahwa kasta-kasta itu timbul dari anggota tubuh makhluk azali yang
besar, laki-laki yang disebut Purusa sang pencipta dunia. Makhluk ini memiliki
seribu kepala, mata dan kakinya menutupi bumi. Purusa adalah segala yang ada
yang akan ada, dan disebut dengan dewa yang tidak dapat mati. Seperempat badannya adalah
makhluk makan dan tidak makan, dan tiga perempat lainnya merupakan makhluk
abadi di langit. Para dewa melakukan persembahan korban dengan Purusan. Ketika
Purusa dipotong-potong, mulutnya menjadi Brahmana (pendeta), lengannya menjadi
Kesatria (perwira atau Pemegang tampuk kekuasaan), pahanya menjadi Waisya
(pedagang, petani), dan dari kakinya muncul Sudra (buruh atau budak).
Jika kita telaah dan analisis, manusia yang dilahirkan ke dunia dengan
membawa kastanya masing-masing, seakan-akan Tuhan atau Dewa tidak adil terhadap
diri manusia tersebut, karena sejak lahir sudah ditentukan golongan, derajat,
atau kastanya masing-masing. Sehingga membuat perbedaan yang sangat mencolok
strata sosial antara si-Sudra dan si-Waisya atau si-budak atau rakyat jelata
dengan bangsawan. Dan hal inilah yang berusaha diperjuangkan untuk dihilangkan
oleh Kant, Lenin dan kawan-kawan komunisnya dengan konsep Sosialisnya.
2.
Agama Budha tidak
memandang manusia dalam bentuk kasta-kasta, melainkan prinsip doktrin agama ini
meniadakan bagi manusia kesenangan dan kenikmatan hidup duniawi. Tujuan hidup
manusia adalah mencari nirwana, dalam hal ini Ruh harus mengalami reingkarnasi
(penjelmaan atau penitisan kembali makhluk yang telah
mati), Ruh manusia yang mati baru akan sampai pada derajat nirwana apabila Ruh
telah cukup kesuciannya.
Menurut penulis, dengan menghilangkan kesenangan dan kenikmatan hidup
duniawi manusia, maka membuat konsep keseimbangan dalam hidup pun hilang
karena hidup yang dijalani akan sengsara terus menerus dalam setiap hidupnya.
Selan itu, hidup itu bukan hanya untuk akhirat atau nirwana semata, namun untuk
menjemput nirwana atau akhirat dibutuhkan kesenangan dan kenikmatan hidup yang
tidak berlebihan atau dalam hal kita sebut saja dengan sebuah kebahagian.
3. Agama
Syinto, dalam kepercayaannya
menganggap raja sebagai wakil Tuhan di bumi, karena dewa telah bersemayam
dalam jiwa raja. Siapa saja yang durhaka terhadap raja berarti durhaka terhadap
Tuhan, taat kepada raja berarti taat kepada Tuhan, mati dalam menjalankan
perintah raja berarti mati di jalan Tuhan, hukumnya mati suci.
Dalam agama Syinto, memang tidak ada salahnya jika
menganggap bahwa raja atau kaisar
sebagai wakil Tuhan di bumi, namun yang jadi permasalah adalah jika ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan diri manusia terhadap Tuhan disamakan dengan ketaatan,
kepatuhan dan ketundukan kepada raja atau kaisar atau kedurhakaan manusia terhadap
raja atau kaisar disamakan dengan kedurhakaan dengan Tuhan. Dengan demikian
Muncul sebuah pertanyaan “Bagaimana jika raja atau kaisar membuat sebuah
kesalahan? Karena tidak ada manusia yang tidak membuat sebuah kessalahan.
“Yakinkah kita, bahwa tidak ada manusia yang tidak berbuat dosa dan kesalahan?”
Atau “yakinkah kita, bahwa kaisar atau raja tidak pernah berbuat dosa dan
kesalahan?”. Kemudian, “Mungkinkah Tuhan membuat kesalahan?” karena Tuhan telah
bersemayam dalam jiwa raja atau kaisar.
4.
Agama
Nasrani, memandang manusia lahir ke
dunia ini membawa dosa turunan yang diwarisi dari dosa asal yakni dari Adam
yang pernah durhaka. Karenanya Yesus Kristus telah sengaja turun dari syurga ke
dunia untuk menebus dosa seluruh ummat manusia dengan cara disalib. Yesus
Kristus dianggap sebagai “Sang Juru Selamat”, jadi keselamatan manusia hanyalah
tergantung atas iman pada penyaliban Yesus.
Bahkan
yang lebih dalam lagi dari pandangan agama Nasrani, mengatakan bahwa
penyebab awal keterjatuhan Adam dari surga adalah perempuan, sehingga manusia
hidup di dunia ini (dilahirkan) memiliki dosa turunan atau asal yang harus
ditanggung. Dan menganggap pula bahwa, perempuan adalah penggoda yang
menjerumuskan Adam (laki-laki) untuk mengingkari perintah Tuhan.
Jika
kita telaah konsep manusia menurut agama Nasrani ini, maka manusia yang baru
lahir ke dunia yang fana ini sudah menanggung kutukan dosa, dan kutukan itu
akan hilang jika kita beriman kepada penyaliban Yesus yang dalam Islam dikenal
sebagai Nabi Isa as., serta di dalam Islam sendiri nabi Isa tak pernah di salib
sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Nisâ [4]: 157-158:
Artinya:
Dan karena
Ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah", Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula)
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa
bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh
itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa
kepada-Nya. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam kisah nabi Isa as., memang
terdapat murid nabi Isa as., berkhianat kepadanya, Yudas, murid Isa as., yang munafik dan berkhianat dengan
menunjukkan tempat persembunyian Nabi Isa as., kepada musuh yang mengejarnya,
wajahnya dibuat oleh Allah swt., menjadi serupa dengan Isa as., sehingga dialah
yang kemudian diambil pasukan raja dan disalib di tiang kayu. Sementara itu, nabi Isa oleh Allah diangkat ke langit, simak
firman Allah dalam QS. Ãli-'Imrân; [3] : 55.
Artinya:
(ingatlah), ketika Allah berfirman:
"Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan
mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir,
dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir
hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan
diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".
5.
Selanjutnya
bagaimanakah manusia menurut Agama Islam?
seperti yang telah dijelaskan di atas sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah
[02]: 30, bahwa manusia diciptakan di muka bumi sebagai khalifah atau wakil
Allah swt. Selain itu, manusia diciptakan untuk menjadi hamba sekaligus
beribadah hanya kepada Allah, simak firman-Nya QS. Al-Dzariyat; [51]: 56.
Artinya:
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
Penghambaan
kepada Allah baik dalam bentuk ibadah magdah
ataupun ghairu mahdah, haruslah dilakukan manusia secara totalitas. Baik lahirnya
maupun batinya, sehingga melahirkan keikhlasan dan ketulusan sebagai hamba.
Allah swt berfirman dalam al-Qur’an.
Artinya:
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (QS.
Al-Bayyinah; [98]: 5).
Kemudian, dalam
hadist nabi Muhammad saw., dijelaskan yaitu
“Dari Abu Hurairah ra., berkata: Rasulullah saw., bersabada: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah (putih bersih tanpa cacat/telah
ber-Islam). Maka, kedua orang tuanyalah (yang melahirkan, termasuk yang
mengurus, mengasuh dan yang bertanggung jawab setelah dia dewasa) yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi,
Nasrani dan Majusi....(
HR. Bukhari).
Hadist di atas
seakan-akan menyatakan bahwa konsep yang dijelaskan dalam agama Nasrani tidak
benar bahwa manusia dilahirkan ke dunia telah membawa dosa yang diperbuat oleh
nenek moyangnya yaitu Adam dan Hawa. Karena dalam Islam tidak mengenal dosa
turunan justeru manusia dilahirkan suci putih bersih (fitrah) tanpa noda dan
dosa ibarat kertas putih tanpa coretan sedikitpun. Kertas putih ibarat sebuah
potensi yang oleh Allah swt., telah berikan, mau diapakan nantinya kertas putih
ini terserah orangtuanya, mau ditulis dengan tinta hitam, kuning, biru, atau
bahkan dengan sebuah tinta keemasan.
Suci menurut agama Islam tidak seperti teori tabularasa yang dikemukakan oleh Jhon Locke, suci dalam pengertian
memiliki sifat-sifat baik, sifat-sifat ketuhanan atau beragama. Dan menurut
para filosof Islam, sifat-sifat Tuhan
yang bersimpul dalam al-Asma al-Husna itulah
yang merupakan potensi-potensi (fitrah) manusia, yang harus dikembangkan dengan
wajar dan sempurna.
Kemudian, lebih spesifik di dalam al-Qur’an sendiri terdapat kata-kata yang
merujuk kepada diri manusia, seperti kata al-Insan
dan al-Basyar. Kata insan yang bentuknya jamaknya adalah al-nas dari segi sematik atau ilmu
tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan meminta izin.
Atas dasar itu kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial
antara manuia dengan kemapuan penalaran.
Kata lainnya yang merujuk pada manusia adalah kata basyar yang dipakai untuk menyebut semua makhluk (manusia), baik
laki-laki ataupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata basyar mengacu kepada manusia dari aspek
lahiriyahnya, mempunyai tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama
yang ada dalam ala mini, dan oleh pertumbuhan usianya, kondisinya tubuhnya akan
menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya. Dengan demikian,
pemakaian kata insan digunakan untuk
merujuk kepada kualitas pemikiran dan kesadaran, Yakni dengan penalarannya itu
manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, manusia dapat
mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin
menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. sedangkan kata basyar digunakan untuk menunjuk pada dimensi alamiahnya, yang
menjadi cirri pokok manusia pada umumnya, seperti hidup, makan, minum dan mati.
Dari dua kata tersebut di atas, dapat dilacak bahwa manusia mempunyai potensi
dan keistimewaan yang dianugerahkan kepadanya dari Allah swt., melebihi semua
makhluknya.
Menurut Bint S\]yathi’ di dalam
al-Qur’an terdapat empat kata yang menunjukkan manusia yaitu, pertama, al-basyar dipakai al-Qur’an
guna menunjukkan pengertian manusia biasa dalam bentuk tunggal. Umumnya kata
ini dipakai oleh para utusan Allah untuk disampaikan kepada ummat mereka bahwa
para rasul itu tidak lebih sebagai manusia biasa, tidak suci, dan tidak
memiliki kekuatan supernatural. Kedua, kata
an-nas kata ini dipakai guna menggambarkan keturunan
Nabi Adam as., sekumpulan manusia. Ketiga,
kata al-ins dikaitkan dengan kata al-jinn
secara berturut-turut dan tidak terpisah dalam 18 ayat. Tampak di situ bahwa
kata al-ins menjadi lawan kata al-jinn, karena al-ins berasal dari kata anis
yang artinya lembut dan jinak, sedangkan kata al-jinn berarti buas. Keempat,
al-insan terkadang dilawankan dengan kata al-jinn, seperti dalam Q.S.
al-Hijr [15]: 26-27. Ini menandakan bahwa al-insan sama dengan kata al-ins yang berarti lembut dan lawan
dari al-jinn yang berarti buas.
Artinya:
Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin
sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.
Agak Sedikit berbeda pengertian kata manusia dalam al-Qur’an yang penulis
temui dalam sebuah artikel dalam internet, dengan apa yang telah dipaparkan
sebelumnya, walaupun dalam artikel tersebut menyebut kata manusia dalam al-Quran menjadi basyar, insan, ins,
naas, inaas, bani adam atau dzurriyah adam. Yaitu sebagai berikut:
Basyar
atau بشر
mempunyai arti : penampakan sesuatu dengan baik dan indah dan kulit. Manusia
disebut بشر
atau basyar karena kulit manusia
tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang. Hal ini merujuk pada firman
Allah :
Artinya:
Katakanlah
(Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
( QS. Al-Kahfi; [18]: 110).
Kalimat
“sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu…” maksudnya adalah nabi
Muhammad saw., mempunyai tubuh (kulit) yang sama dengan manusia lainnya, tidak
ada perbedaan, bisa berkeringat dan bisa pula berdarah.
Kata insan, ins, naas, inaas atau انسان, انس, ناس, اناس digunakan untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Allah berfirman :
Artinya:
Katakanlah:
"Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai jiwa) manusia.
Raja manusia. (QS.
Al-Nas; [114]: 1-2).
Bani
adam atau dzurriyah adam atau ادم بنى
dan ذرّية mengandung arti bahwa seluruh manusia adalah
keturunan atau anak cucu Adam. Sebagai keturunan atau anak cucu Adam, manusia
tidak dibedakan oleh suku, ras, bahasa, letak geografis, warna kulit dan
sebagainya. Manusia seluruhnya adalah sebuah unitas dan sama di hadapan Tuhan.
Yang membedakan mereka adalah takwanya. Sebagaimana dalam al-Qur’an Surah. Al-Isrâ [17] ayat 70.
Artinya:
Sesungguhnya kami telah muliakan anak cucu Adam….
Setelah kita mengkaji konsep manusia menurut para ahli dan beberapa agama,
maka selanjutnya mari mengkaji manusia lebih dalam dengan segala potensi yang
dan anugerahkan kepadanya (manusia). Pengkajian manusia terhadap diri manusia
dilakukan bukan karena tanpa adanya sebab dan alasan, pengkajian dilakukan
karena beberapa hal, yaitu diantaranya:
Pertama. Rasa keingintahuan manusia yang sangat tinggi akan dunia mikrokosmos (jagad diri) dan makrokosmos (jagad raya),
Kedua. Sebagai proses pencarian jati diri manusia dan pencarian atas sang
pencipta (Tuhan), nabi Muhammad saw., bersabda: “Barangsiapa
yang mengenal dirinya, dan sungguh-sungguh menentang nafsunya sendiri,
niscaya akan mengenal Tuhannya dan
mengikuti kehendak-Nya.”
Ketiga. Adanya Perintah dari sang pencipta (khalik)
kepada ciptaannya (makhluk) untuk
memperhatikan dirinya sendiri.
Artinya:
"Maka
hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari
air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.
Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah
mati)." (QS. Al-Thariqh; [86]: 5-8).
Manusia telah diciptakan oleh Allah swt., sebagai makhluk yang paling mulia
dan istimewa dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Sebuah
ciptaan yang maha canggih sekaligus penuh ketelitian dan perhituangan yang
sempurna. Untuk mengetahui keistimewaan
manusia itu, akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
BERSAMBUNG.....................
DAFTAR
PUSTAKA
al-Hasyimi.
Muhammad Ali, Menjadi Muslim Yang Ideal,
Terj: The Ideal Muslim; The True Islamic
Personalityas Defined in The Qur’an & Sunnah, Penj: M. Chairil Anam,
(Cet. I; Depok: Inisiasi Press, 2002).
al-Khu’I. Ayatullah Sayyid, Menuju
Islam Rasional (Sebuah Pilihan Memahami Islam), terj: Rastionality of Islam, penj: Dede Azwar N, (Cet. I; Jakarta: Hawra Publisher, 2003).
Alvyanto,
Sistem Otot, dalam http://alvyanto.blogspot.co.id/2010/01/sistem-otot-manusia.html
An-Nawawi, Imanm Muhyidin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri, Hadits Arbain An-Naawiyah, terj: Al-Arbain An-Nawawiyah, peni: apung
Samuddin, (Cet. I; Makassar: Bin Mahdi Group, 2013)
Apt.
Nana Sutresna dan Didin Sholehuddin, Kimia
Untuk SMA Kelas I Semester I Jilid I A, (Bandung: Grafindo Media, 2003)
Aziz. Nahrawi,
Letak Akal, Nafsu dan Ruh Manusia Menurut Islam, dalam http://nahrawiaziz.blogspot.com.
Corbuzier. Deddy,
Mantra Deddy Corbuzier, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005).
Departemen
Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam, 2001).
Efendi. Agus,
Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung;
Alfabeta, 2005),.
Farid.
Ahmad, Tazkiyatun Nafs. Diterjemahan
oleh : Imtihad Asy-Syafi’i (Solo: Pustaka Arafah. 2008).
Izzudin.
Solikhin Abu, Zero to Hero (Mendahsyatkan Pribadi Biasa Menjadi Luar
Biasa), (Cet. XVII; Yokyakarta, Pro-U Media, 2012).
Kusnadi. Rahmat, Geografi Untuk SMU Kelas 1, (Cet. II;
Bandung: Grafindo Media Paratama).
Karmana.
Oman, Cerdas Belajar Biologi (Untuk Kelas
XI SMA/MA Program IPA), (Bandung, Grafindo Media Pratama, 2007).
Karmana.
Oman, Cerdas Belajar Biologi (Untuk Kelas
XII SMA/MA Program IPA), (Bandung, Grafindo Media Pratama, 2007).
Padepokan
Guru Indonesia (PaGI), Potensid dalam
diri manusia, dalam http://sayuraseum.tumblr.com/post/24613486557/potensi-dalam-diri-manusia.
Pesantren
Darul Itiqomah, Mushaf al-Istiqomah
(al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pesantren Darul Itiqomah bekerja sama
dengan al-Hadi Media Kreasi, 2015)
Pratiwi.
D.A. Dkk, Biologi Untuk SMA/MA Kelas X,
(Jakarta: Erlangga, 2006).
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008).
Madkour.
Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam,Terj:
Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’ al-Sani, Pentj: Yudian
Wahyudi Asmin, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2002).
Marimba.
Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, (Bandung: al-Ma’arif,1962).
Mudjahid,
Sejarah Agama-Agama, (Cet. II;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Muhaemin,
Komponen-Komponen Pendidikan Dalam
Perspektif Islam, (Palopo : Lembaga Penerbit STAIN (LPS) STAIN Palopo, 2010).
Muhaimin,
Problematika Agama dalam Kehidupan
Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia,1989).
Mahmud.
Ali Abdul Halim, Karakteristik Umat
Terbaik (Telaah Manhaj, Akidah dan Harakah), terj: Ma’a al-Aqidah wa
al-Harakah wa al-Manhaj fi Khairi Ummati Ukhrijat li an-nas, pentj: As’ad
Yasin, (Cet. I; Jakata: Gema Insani Pres, 1992).
Margono.
Gatot, Ilmu Trawangan dan Kedigdayaan,
(Surabaya: Putaka Ilmu Jaya).
Nabillah. Auni, Letak Akal, Nafsu dan Ruh Manusia Menurut
Islam, dalam http://catatan-harian-auni.blogspot.com/2012/08/letak-akal-nafsu-dan-ruh-manusia.html.
Nasruddin
Razak, Dienul Islam, (Cet. II;
Semarang: Ptalmaarif, 1971).
Nawawi. M. Alwi, Pengantar
Pendidikan Agama IslamI, (Makassar: Lembaga Percetakan dan Penerbitan
Universitas Muslim Indonesia, 1988).
Nata.
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1,
(Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Salam. Asran,
Ali Syariati; Dari Revolusi Diri Ke
Revolusi Sosial, (Cet. I; Gowa:
Libterasi Institut, 2015).
Sasrawan.
Hedi, Sistem Saraf Pada Manusia,
dalam http://hedisasrawan.blogspot.co.id/2013/04/sistem-saraf-pada-manusia.html
Sentanu.
Erbe, Quantum Ikhlas, (Cet. XXXIII;
Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014).
Sistem Ekskresi Manusia, dalam https://unitedscience.wordpress.com/ipa-3/bab-1-sistem-ekskresi-manusia/
Struktur dan Fungsi Alat Indera
Penglihatan (Mata), dalam http://www.bukupr.com/2012/12/struktur-dan-fungsi-alat-indera.html
Subardi
dkk, Biologi Untuk Kelas Xii Sma Dan Ma, (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan: 2008)
Suwarno,
Panduan Pembelajaran Biologi XI SMA/MA
Kelas XI, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional: 2009).
Tim
Perumus, Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK, (Jakarta: Raja
Grafindo, Jakarta).
The
Master, Istilah manusia dalam Al-Qur’an,
dalam http://dakwah-2012.blogspot.com/2011/12/sifat-dan-potensi-manusia-menurut-al.html.
Ucoz, Sistem Peredaran Darah, dalam http://biologi.ucoz.com/index/sistem_peredaran_darah/0-44
Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas, Sistem endokrin dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_endokrin
Kazuo Murakami, The Divine Massage Of The DNA (Tuhan dalam Gen Kita),
penj: Winny P, (Cet. II; Bandung: Mizan Pustaka, 2007)