DUKA DI HARI BAHAGIA
Tak pernah
terfikirkan oleh Fitri, gadis ayu berumur 17 tahun sebelumnya, karena harus menanggung derita diusianya
yang terhitung cukup muda. Belum sempat mereguk manisnya cinta dari sebuah
pernikahan, kini ia harus meratapi tubuh yang terbujur kaku di ruang mayat.
“Malang nian
nasibmu nak!harus menanggung semua ini.” Gumam ibunda Fitri dalam hati.
Namun ia yakin
dan percaya bahwa keduakaan dan kebahagian itu semuanya bersumber dari Allah
swt, Tuhan sang Dalang kehidupan.Iahanya segelintir dari ribuan Wayang yang
dimainkan oleh sang Dalang.
Berita kematian
Guntur begitu cepat menyebar, tak ubahnya tumbuhnya jamur dimusim penghujan.Baru
kemarin Guntur dan kawan-kawannya bersendau gurau di rumah Mak Iwan sembari menenggak
Ballo’ (minuman keras khas daerah Toraja, Luwu dan sekitarnya) bersama-sama.
Berita kematiannya ini begitu membuat shock sang calon Isteri dan keluarganya.
Bagaimana tidak ! Guntur pemuda tinggi, kurus, berambut gondrong keriting,berkulit putih, baru saja
melamarnya.
Guntur melamar
gadis pujaan hatinya yaitu Fitri, seorang bunga desa yang banyak menjadi
rebutan laki-laki, termasuk kawan-kawannya.
“Gun… beruntung
sekali hidupmu, bisa dapatkan hati si Fitri !“ kata Parno sambil memegang
pundak Guntur.
“Iyo bah, aku
jadi iri. Padahal aku juga mau menikahinya, eh aku kalah cepet sama kamu. Ya
nasi sudah menjadi lontong, mau diapa-apakan tetep lontong.He..he..he..he..,”
tawa renyah Pairi.
“Hehehehe jadi
laper nih.”Kata Pairi tiba-tiba.
“Huuu..kamu ini,
ingetnya makan terus.” Sahut Parno.
Guntur hanya
tersenyum mendengar celotehan kawan-kawannya.Beginilah mereka jika sedang
kumpul, selalu asyik saja. Mereka jalani kehidupan tanpa beban dan mereka punya
prinsip “Hidup hanya satu kali, jadi nikmati saja”
“Gun… aku punya
ide, bagaimana kalau kita merayakan akhir masa bujangmu dengan minum sampai
mabuk dan pagi.” Usul Parno.
“Good idea alias
aku sepakat. Kita minum di tempat biasa, tempatnya Mak Iwan.” Kata Pairi.
“Eeet..tapi kita
harus tunggu Gugun dulu sepakat. Bagaimana Gun?” Tanya Parno pada Guntur.
“Ooooooo… ok,
aku setuju dan aku yang traktir kalian sampai mampus minum.”Senyum mengembang di wajah
Guntur.
“Kalau begitu
langsung saja aku telpon Mak Iwan, Magar,
Joni dan yang lainnya.” kata Pairi sembari menekan tombol hp buntutnya yang
diikat dengan karet gelang.
Sementara Gugun
atau Guntur membongkar seluruh isi dompetnya dan saku celananya.
Dengan
mengendarai bebek besi tahun 2000-an ( Vespa ), mereka
bertiga pun sampai di rumah Mak Iwan. Ternyata Mgar, Joni, Afred sudah sampai
duluan di rumah Mak Iwan. Rumah Mak Iwan merupakan rumah favorit mereka yang
ingin menikmati sedapnya Ballo’.
Sebenarnya rumah
Mak Iwan sudah seringkali digerebek oleh polisi dan warga desa yang taat
beragama, karena selain ditempati untuk mabuk-mabukan, para pemuda desa juga
biasa menempatinya untuk berjudi.
Setiap kali
digerebek dan ditutup.Tidak lama berselang,Mak Iwan membuka tempatnya untuk
menjual Ballo’ lagi. Setiap ditanya mengapa terus-terusan menjual Ballo’, ia
menjawab, “Saya ini seorang janda, anak-anakku banyak dan masih kecil-kecil
semua. Anakku Iwan saja yang sudah lumayan besar sudah kelas VI SD. Kalausaya
tidak melanjutkan usaha suami saya, kami makan apa? Iwan tidak akan dapat
melanjutkan sekolahnya. Selain itu, hanya ini keterampilan yang saya miliki.Mau
menikah, siapa yang mau dengan wanita setua saya”. Seringkali setelah
menjelaskan semua itu, Mak Iwan menangis berurai, air matanya membasahi
pipinya.
“Selamat datang
calon pengantin……!” sambut Magar sembari membentangkan tangannya.Magar adalah
sahabat terbaik Guntur, mereka sudah bersahabat sejak kecil dan sering bersaing
dalam segala hal.
Guntur pun
menyembut pelukan Magar, sambil mengelu-elus pundak sahabatnya. Magar berbisik,
“Besok engkau akan jadi pengantin baru kawan, bersanding dengan wanita cantik,
bunganya desa ini. Aku iri padamu!”
“Terima kasih
kawan atas dukungannya selama ini,” jawab Guntur singkat.
“Aku akui, kali
ini kalah total darimu kawan, aku ucapkan sekali lagi selamat. Engkau pantas
jadi pangeran buat princes Fitri.”
“Udah dong
pelukannya, aku udah tidak sabar untuk pestanya nih..!” kata Joni memotong
pembicaraan mereka berdua.
“Ok kalau begitu
mari kita masuk, semuanya sudah tersedia
di dalam,” Mak Iwan mempersilakan masuk.
Mereka masuk dan
duduk membentuk bundaran.Sejam kemudian.Mereka sudah mabuk.
“Ayo tos
kawan..” pinta Pairi.
“Tossss…”
“Lho..mukamu kok
awut-awutan sich!” kataParno sambil
menunjuk nunjuk muka Pairi.
“Emang..emang
dari sononya… eaaaahh hahahaha….” Sahut Pairi.
“Hahahahaha…”
gelak tawa mereka.
“Putar lagi….
Tambah lagi….” Pinta magar.
“Eeeh…
Dangkotnya datang lagi..”Magar langsung mencaplok dangkot bebek yang masih
hangat. “Nyam..nyam..nyam…”
“Heee…. Parno
mukamu kok kaya pantat panci, gosooong..hahahaha.” Semprot Pairi membalas
ledekan Parno.
“Hahahaha….”
Kali ini Parno tiba-tiba
diam, membuat kawan-kawanya pun terdiam
dan keheranan.
“Apa Parno marah?”
bisik Pairi pada Guntur.Mereka berdua sikut-sikutan.
Namun tiba-tiba Parno
cengengesan, “Hihikshiks..hikshiks..hiks..!!”
“Uuukgh ugh..uughk..”
Parno masih terbatuk-batuk.
Sontak kawan-kawannya
tertawa terbahak-bahak.
“uuukgh
ugh..uugkh..”Parno masih terbatuk-batuk.
“Lho lho nyapo
bocah kuwi?(Lo lo kenapa anak ini?)”kataPairikeheranan.
“Tae kutandai?
(tidak kutahu?)”sahutJoni.
Seketika itupun
Guntur langsung memukul pundak Parnobeberapa kali sampai keluar sesuatu dalam
mulutnya. “huaaaa, huaaa, huaaaaaaaaaaaaa…….”
“walaaaaaaah..
kelelek belong bocah iki..(walaaah tersedak tulang anak ini)”
Mendengar
kata-kata Pairiyang medok bahasa Jawanya, semua orang tertawa cekikikan
Putaran demi
putaran gelas telah berlangsung beberapa jam.Memang seperti inilah mereka ketika
sedang menenggak Ballo’ sambil menikmati dangkot lezat asli buatan Mak Iwan yang
tiada duanya di kampung ini.
“Gun
kalau malam pertama nanti, ajak-ajak dong aku. Supaya aku juga dapat
merasakannya,” bisik Magar ke telinga Guntur yang mulai mabuk.
“Enak saja kamu,
satu ya tetap satu.Fitri satu yang tetap milikku.Makanya, cari Fitri yang
lainnya,” Kata Guntur juga sedikit mabuk.
“Haaaaaaa sekke
(kikir) kamuuuuu, minta yang begituan saja tidak boleh.Teman macam apa kamuuuuu
hhaaaaaaa” teriak Magar keras.
Guntur mulai
naik pitam, ia berdiri geloyoran lalu berkata ,“WEIII magar, jaga ucapanmu dan
tutup mulut busukmu!”
Magar pun tidak
tinggal diam, ia berdiri dan berucap, “Apa katamu? mulutku bau busuk. Mulutmu
itu yang bau busuk.Kasian sekali Fitri dapat suami yang mulutnya busuk seperti
kamu.Mending sama aku yang agak wangi mulutku.”
Sementara Magar dan
Guntur adu mulut, yang lainnya tergeletak mabuk berat.Sesekali ada yang membuka
mata berkedip-kedip, namun tak mampu untuk menggoyang badannya.Adapula yang tak
mampu untuk membuka matanya karena telah mabuk berat.
“Dancooooo… kuwe
(kata-kata kotor bahasa jawa)” teriak Guntur.
Magar tidak mau
kalah ia pun berteriak, “Tailassomuuuu..(kata-kata kotor bahasa Toraja).”
Perkelahian pun
tak dapat dihindari, mereka keluar dari rumah mencari tempat yang lebih luas. Mereka jual beli
pukulan dan tendangan.Sama-sama tidak mau mengalah walaupun dalam keadaan
sempoyongan.Magar meninju pipi sebelah kiri Guntur dengan tangannya, sontak
Guntur membalasnya dengan dua kali pukulan mengenai pelipis matanya.
Plack..buuuk.. buukk plackkk (suara pukulan).
Guntur menangkap
tendangan Magar dan memutarnya hinnga
membuatnya terpelanting jatuh. Kemudian Magar bangkit untuk siap menyerang
Guntur.Kali ini tinjunya mengenai rahang bagian bawah, sehingga membuat
beberapa gigi Guntur pamit satu-persatu meninggalkan darah di mulut.
“Cuuh..cuuh..
cuuh.. Asuh...,” Guntur meludahkan darah yang keluar dari mulutnya beberapa
kali.Saat ini Guntur membalas pukulan Magar dengan tendangan yamg menyerempet
kemaluannya.
“Aduh..Aduh..Adudududu..”Magar
memeriksa kemaluannya.
“Aaaahhh
aman..”kataMagar lega setelah memeriksa kemaluannya tidak apa-apa.
Magar membalas
dengan tendangan kaki kanan mengenai perut, buuuuuckk….. uuukkhhh.. sontak
Guntur memuntahkan isi perutnya. Magar tidak mensia-siakan kesempatan ini, ia
langsung mengambil batu besar yang berada tak jauh darinya. Ialangsung
menghantamkan dengan keras ke pelipis Guntur, seketika itupun darah mengucur deras
keluar dari pelipisnya.
Tubuh Guntur pun
rebah diatas tanah yang dipenuhi darahnya sendiri. Tiba-tiba kesadaran Magar pun
muncul, ia tidak tahu harus berbuat apa-apa.Takut, bingung dan linglung.Tanpa
berpikir panjang lagi, ia langsung melarikan diri dari tempat kejadian.
Melihat kejadian
ituMak Iwan kaget bukan kepala,iaberteriak histeris. Sontak semua orang berdatangan,
penasaran dengan teriakan Mak Iwan.Dengan segera Guntur dilarikan kerumah sakit
terdekat.Sanak family mulai berdatangan di tempat Guntur dirawat termasuk
mempelai wanita,Fitri.
Mereka harap-harap
cemas dengan kondisi Guntur, karena sampai dini hari guntur tidak kunjung
siuman dari komanya.Orang tua Guntur tak henti-hentinya komat-kamit membaca
dzikir, berdoa memohon kepada sang pemberi kehidupan agar Guntur diberi
kesempatan untuk hidup. Begitu juga dengan Fitri.Orang paling shock dan
terpukul atas kejadian ini.Ia tak henti-hentinya berdoa dengan tetesan-tetesan
air mata yang senantiasa mengalir deras dari pelupuk matanya.
Jam sudah
menunjukkan pukul 4 subuh, kondisi Guntur tak semakin membaik, malah
sebaliknya.Kondisi Guntur semakin kritis. Tak lama kemudian terdengar
suara teriakan dan tangisan yang pecah dari
ruangan Guntur dirawat. Innalillahi wa
inna ilaihi rijiaun..sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali
kepada-Nya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar