MUHKAM DAN MUTASYĀBIH
DALAM AYAT-AYAT AL-QUR'AN
1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam secara lughawy berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.
Seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam.Allah melukiskannya sebagai:
Artinya: “Kitab yang ayat-ayatnya diperjelas, terbebaskan dari kesalahan dan serta tersusun rapi tanpa cacat” (QS. Hud [11]: 1)
Allah juga memperkenalkan al-Qur’an sebagai melukiskannya sebagai
Artinya: “Kitab yang Mutasyābih” (QS. Az-Zumar [39]:23)
Kata mutasyābih (متشابه) terambil dari akar kata asy-Syabbah (الشبة) yang bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud oleh ayat Az-Zumar di atas adalah ayat-ayat al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan redaksinya serta kebenaran informasinya.
Di tempat lain, Allah berfirman
“Dialah yang menurunkan kepadamu (wahai Nabi Muhammad) al-Kitab; ada di antara ayat-ayat-Nya yang Muhkamat dan ada juga selain itu yang Mutasyābihat” (QS. Ali Imran [3]: 7)
Yang dimaksud dengan mutasyābih pada ayat Ali Imran ini adalah “samar”. Ini adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas. Memang keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan muhkam, antara lain:
1) Ayat yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan redaksinya sendiri, maupun melalui ta’wīl penafsiran. 2) Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran. 3) Ayat yang kandungannya tidak mungkin dibatalkan (mansukh). 4) Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan dari luar dirinya, atau ayat yang tidak disentuh oleh sedikitpun kemusykilan.
Mutasyābih juga diperselisihkan definisinya, antara lain:
1) Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang diinformasikannya, seperti kapan tibanya Hari Kiamat, atau hadirnya dabbat (QS. An-Naml [27]: 82).
2) Ayat yang tidak dapat dipahami kecuali mengaitkannya dengan penjelasan.
3) Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna.
4) Ayat yang mansukh yang tidak diamalkan karena batal hukumnya.
5) Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan maknanya kepada Allah.
6) Qaṣaṣul Qur’an, yaitu kisah-kisah dalam al-Qur’an.
7) Fawatihus Suwar, yaitu huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal-awal surat.
Definisi-definisi di atas mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah yang jelas maknanya, sedang yang mutasyābih adalah yang samar.
2. Sebab-sebab Timbulnya Kesamaran
Para ulama mengembalikan sebab-sebab timbulnya kesamaran pada tiga hal pokok:
1) Kesamaran pada lafadz/kata yang digunakan ayat, seperti firman Allah yang menginformasikan sikap Nabi Ibrahim as. Terhadap patung-patung sembahan kaumnya. Firman Allah pada QS. Ash-Shaffat [37]: 93.
“lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat).”
Kata yamin tidak jelas maksudnya, apakah dalam arti tangan kanan atau sumpah, sehingga ayat tersebut dapat dipahami dalam arti Nabi Ibrahim as. : pergi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu memukulnya dengan tangan kanannya, atau memukulnya dengan keras, atau memukulnya disebabkan oleh sumpah yang pernah diucapkannya bahwa dia akan merusak berhala-berhala itu.
2) Kesamaran pada maknanya, seperti uraian al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah, misalnya: “Tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS. al- Fath [48]: 10).
Atau seperti akan datangnya dabbat (دابة) yang akan “berbicara” menjelang Hari Kiamat (QS An-Naml [27]: 82)
3) Kesamaran pada lafadz dan maknanya, seperti firman Allah : “Dan bukanlah sebuah kebajikan memasuki rumah dari belakangnya” (QS. AlBaqarah [2]: 189).
Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyābih, karena redaksinya yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas sehingga diperlukan pengetahuan menyangkut adat istiadat masyarakat Arab Jahiliyah/awal masa Islam, menyangkut cara mereka masuk rumah.
3. Macam-Macam Mutasyābihat dalam Al-Qur’an
M. Abdul ‘Adzim Al-Zarqany (w. 1948 M) membagi ayat-ayat mutasyābihat menjadi tiga macam:
a. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman Q.S. Al-An’am [6]: 59)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”
b. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyābihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya. Allah berfirman Q.S. An-Nisa’[4]: 3
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasanya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asal berbunyi :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”
c. Ayat-ayat mutasyābihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Inilah yang diisyaratkan Nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas: “Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil”
4. Pandangan Ulama tentang Muhkam dan Mutasyābih
Dalam al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyābihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah QS.Ar-Rahman ayat 27:
Artinya: “Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Atau dalam QS. Taha [20]: 5 Allah berfirman:
Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy.
Dalam hal ini Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab:
a. Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat Mutasyābih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula madzhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya. Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa’ jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada tasyabbuh (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
“Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”.
b. Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan Dzat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Madzhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyābihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyābihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
“Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.” (HR. Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq alId mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika ta’wīl itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aql
5. Hikmah Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyābih
Setidaknya ada tiga hikmah yang dapat kita ambil dari persoalan Muhkam dan Mutasyābih tersebut, hikmah-hikmah itu adalah:
a. Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat Muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran pengertian ayat yang jelas.
b. Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an Mutasyābihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia. Orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-Qur’an seluruhnya dari sisi Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.
“Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fussilat [41]: 42)
c. Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyābihat, menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka akan terhindar dari taqlid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berpikir.
SUMBER:
M. Taufikurohman, Ilmu Tafsir Kelas XI MA Peminatan Keagamaan, (Cet. I; Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2020)