AL-'AM
A. AL-'AM
1. Pengertian ‘Am
Al-‘Am secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan secara istilah al-‘Am adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Sementara itu pengertian al-‘am menurut ulama lainnya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Al Ghazali (w. 478 H) al-‘Am adalah suatu lafadz yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
b. Menurut Jalaludin As-Suyuthi (w. 911 H) lafadz al-’Am adalah lafadz yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
c. Menurut Dr. Subhi Shalih (w. 1986 M) lafadz al-‘Am adalah suatu lafadz yang di dalamnya menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu.
d. Menurut istilah ushul fiqih adalah :
“Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan & sekaligus” Dari beberapa pengertian di atas, secara substansial tidak memiliki perbedaan makna. Artinya, suatu lafadz bisa dikatakan ‘am apabila kandungan maknanya tidak memberikan batasan pada jumlah yang tertentu. Contoh lafaz al-’Am seperti lafaz "laki-laki" (لَجا ِِّالر ) dalam lafaz tersebut mencakup semua laki-laki atau lafaz "manusia" (الناس) itu mencakaup semua manusia
2. Karkteristik Lafadz Al-‘Am
Berdasarkan hasil penelitian para ulama terhadap kata-kata dan susunan kalimat bahasa arab yang terkandung di dalam Al-Qur’an, lafadz-lafadz yang menunjukkan lafadz umum adalah sebagai berikut :
a. Lafadz kullu ( )ك ل dan jami’ ( )جميع . Seperti dalam QS. At Thur [52]: 21,
“.…..tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan.
b. Sighat jama’ yang disertai alif dan lam (ال) di awalnya, seperti lafadz al walidat dalam QS. Al Baqarah [2]: 233.
“Para ibu (hendaknya) menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya” . (QS Al Baqarah [2] : 233)
c. Kata benda tunggal yang di-ma’rifah-kan dengan alif lam (ال), seperti lafadz al-insan dalam QS. Al-‘Asr [103]: 2.
“Sesungguhnya manusia dalam kerugian.” (QS. Al-Asr : 2) d. Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata man (من) dalam QS. An-Nisa’ [4]: 92
…..dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja )hendaklah( ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya )si terbunuh itu(, kecuali jika mereka )keluarga terbunuh( bersedekah…….(QS. An-Nisa’ [4]: 92)
e. Isim nakiroh (indefinite noun) yang di-nafi-kan, seperti kata ( )لجناح dalam QS. Al-Mumtahanah [60] 10 :
… Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya …
f. Isim maushul (kata ganti penghubung), misalnya kata al-ladzina dalam QS. An-Nisa [4]: 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzolim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala.” (QS An Nisa : 10)
3. Macam-macam 'Am Lafadz ‘am apabila dilihat dari segi penggunaanya dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :
a. Lafadz ‘am yang tetap pada keumumannya (al-baqiy ‘ala umumihi), yaitu ‘am yang disertai qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshis. Contoh lafadz untuk kategori pertama ini biasanya berkaitan dengan kalimat-kalimat yang menerangkan sunnatullah (hukum ilahi), seperti dalam QS. Hud [11]: 6 berikut ini :
“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang member rizkinya…..”(QS Hud [11]: 6)
b. Lafadz ‘am tetapi maksudnya khusus (al-am al-muradu bihi al-khushush), yaitu ‘am yang disertai qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘am itu adalah sebagian dari satuannya, seperti dalam QS. At-Taubah [9]: 120 :
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan orang-orang arab baduwi yang berdiri di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.” (At Taubah [9]:120).
Sepintas dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan ayat umum, yaitu penduduk Madinah dan orang-orang arab disekitarnya, termasuk orang-orang sakit dan lemah. Namun yang dikehendaki dari ayat tersebut bukanlah masyarakat pada umumnya, tetapi hanya masyarakat yang mampu saja yang diwajibkan.
c. Lafadz ‘am yang dikhusushkan (al-am al-makhshush), yaitu ‘am yang tidak disertai qarinah, baik itu qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshish, maupun qarinah yang menghilangkan keumumannya. Lafadz ‘am ini menunjukkan keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan, seperti dalam QS. AlBaqarah [2]: 228 berikut ini:
“Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu)sampai tiga kali suci…..”(QS Al Baqarah :228)
4. Men-takhsis yang Umum
Lafazh 'Am itu terbagi atas dua macam, yaitu 'Am yang dapat dimasuki takhshiah dan 'Am yang tidak dimasuki takhshiah. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia benar-benar di-takhsis. Golongan hanafi berpendapat bahwa yang bisa mentaksis 'Am adalah lafazh yang berdiri sendiri bersama dalam suatu zaman Serta mempunyai kekuatan yang sama dilihat dari segi qath'i/ zhanny-nya. Sebagaimana contoh adalah firman Allah:
“.…dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. (Qs.An- Nisa [4]:24)
Lafadz 'Am ini telah ditakhsis dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
“Seorang wanita tidak bisa dikawini bibi dari Ayahnya/bibi dari lbunya. َ Dan tidak pula dengan keponakan dari saudaranya/keponakan dari saudaranya. Sebab jika kamu berbuat itu berarti kamu telah memutuskan keluargamu”.
Hadits ini tergolong hadis masyhur, yang dalam konteks ini ia sebagai contoh yang mentakhsis keumuman lafadz Al-Quran yang qath'i.
Syarat-Syarat yang mentakhsis yang 'Am ada 3 yaitu : a) harus berdiri sendiri b) harus bersamaan dalam satu masa c) harus sama derajatnya dengan 'Am, apakah zanny atau qath’i.
Adapun contoh 'Am yang ditakhsis dalam firman Allah tentang waris :
Ayat ini memakal lafaz- lafazh 'Am, di-takhsis dengan dalil lafazh yang berdiri sendiri dan bersamaan dalam masa yaitu sabda Nabi SAW:
“si pembunuh itu lidak berhak mendapatkan harta warisan”
Dan ditaksis lagi dengan sabda Nabi SAW :
"orang yang berlainan agama tidak berhak sedikitpun memperoleh harta warisan"
Meskipun para ulama fiqih berbeda pendapat tentang banyaknya takhsis serta kekuatanya, namun mereka sepakat dalam menetapakan bahwa takhsis bukan berarti mengeluarkan sebagian satuan yang 'Am (umum) setelah berada didalamnya dari segi hukum.